"Geva! Astaga!" Berlian memekik dan berguling, lalu tubuhnya jatuh ke lantai. "Aw!" Dia mengaduh sambil mengusap kepalanya yang lebih dulu mendarat.
"Be? Kamu kenapa?" Geva terkejut. Sambil mengusap matanya, dia melongok ke bawah lalu tertawa. Wajah bangun tidurnya sangat lucu. Tapi Berlian tidak tertarik untuk terenyum karena dia sedang kesakitan. "Kamu jatuh?"
"Menurutmu?" ketus Berlian yang sudah bangkit dari posisinya. Wanita itu meringis, melangkah ke kamar mandi dalam keadaan tanpa busana. "Pulang, Ge! Sebelum ibu-ibu rese ngerumpi di tukang sayur!" teriaknya dari dalam kamar mandi.
Geva menggeliat malas di atas ranjang. Dia mengerang dan enggan untuk beranjak pergi. "Gevariel Gerald! Pulang!" teriak Berlian sekali lagi.
"Be, suaramu bisa membuat ayam tetangga mati mendadak," cemooh Geva yang dengan santainya melangkah masuk ke dalam kamar mandi dan buang air kecil.
"Jangan lupa di flush!" Berlian menyibakkan tirai shower kemudian melotot pada Geva yang hanya dibalas dengan cengiran lebar.
"Be, mandi bareng, dong," lontarnya dengan tatapan mesum yang membuat Berlian mendengkus."Nggak, ah! Sana, pulang!" Berlian menutup kembali tirai shower dan dia membilas tubuhnya yang penuh busa sabun.
"Aku nggak kerja, Be. Jadi ... menginap lagi aja." Geva membuka tirai dan ikut bergabung di bawah shower.
"Jadi omongan tetangga, Ge. Kamu kapan pinternya, sih? Nggak paham-paham," gerutu Berlian yang keluar lebih dulu dari bilik shower. "Pokoknya setelah sarapan, kamu pulang, ya, Ge," pesan Berlian penuh harap semoga sahabatnya itu bisa mengerti kali ini.
"Makanya tinggal sama aku aja, Be. Tetanggaku nggak ada yang ribet, malahan ada bule ganteng banget."
Mendengar kata 'bule', Berlian langsung membuka tirai shower. "Tetangga barumu? Siapa, Ge?" tanyanya dengan antusias.
"Giliran bule aja, langsung berbinar tuh mata," decak Geva. "Mr.Steels, yang punya Steels Tower, sama temannya dan ada beberapa orang lainnya, sih."
"Mr.Steels? Bosnya bos-bosmu? Ganteng banget, ya, Ge?" Berlian melilit handuk di tubuhnya kemudian dia mengusap cermin di wastafel yang berembun dengan telapak tangannya.
"Lebih ganteng aku, sih," kata Geva yang sudah keluar dari bilik shower dengan penuh percaya diri. Dia mengambil handuk dari gantungan, kemudian ikut bergabung menggosok gigi bersama Berlian.
"Halusinasi terus, Ge. Lanjutkan!"
"Kamu nggak percaya banget sama aku, sih, Be? Beneran! Cuma ganteng di foto aja."
"Percaya sama kamu?" Berlian mendecih sembari melirik sinis. "Dosa!" sambungnya.
"Hm, awas aja kalau nanti minta ina-inu sama aku."Berlian membolakan mata. Dia menepuk bahu Geva dengan tangan kiri, karena tangan kanannya sibuk dengan sikat giginya.
"Mohon maaf, nih, Pak Gerald. Yang ngajakin ina-inu terus, tuh, siapa ya?" sindirnya setelah itu dia berkumur dan mencuci sikat giginya.
"Kamu lah. Kan, kamu yang kecanduan sama aku." Geva mengedikkan bahu.
"Terserah aja, Ge," acuh Berlian sambil melangkah keluar dari kamar mandi lebih dulu. Geva tertawa dan menyusulnya buru-buru.
"Bercanda, Be. Sensitif bener, kayak ...."
"Pantat bayi?" Berlian meraung dan Geva menahan tawanya kali ini sampai dia mengeluarkan suara aneh dari hidungnya.
"Ge, kamu, kan, kerja di Steels Corp ... ada potongan atau harga khusus kalau membeli rumah di Sunflower Land by Steels, nggak?"
Geva mendecak lagi. "Tinggal sama aku aja, sih, Be. Masih ada satu kamar kosong. Supaya hemat juga bayar sewanya," kekehnya sambil memakai pakaian baru yang diambilnya dari dalam tas.Geva selalu membawa pakaian bersih ke manapun dia pergi. Dia juga meninggalkan beberapa pakaian di rumah Berlian, karena dia sering menginap di rumah wanita itu.
"Be, celana dalamku yang cokelat, mana ya?" tanya Geva dengan tangan yang sibuk mengaduk-aduk laci yang dibeli khusus oleh Berlian untuk sahabatnya menyimpan pakaian dan beberapa barang miliknya yang sengaja ditinggalkan.
"Mana aku tau." Berlian mengangkat bahu. Dia memunggungi Geva meminta bantuannya untuk mengaitkan bra. Dengan cepat pria itu mengaitkannya dan kembali sibuk mengaduk isi laci. "Ge! Itu apa?" tunjuk Berlian pada celana dalam yang berada di bawah kaki Geva.
"Loh? Kok, ada di sini?" bingung Geva dan membungkuk untuk mengambilnya. "Ah, kamu, Be. Pasti sengaja di sembunyiin," tuduhnya.
"Makanya kalau cari sesuatu itu pakai mata, bukan pakai mulut!" Berlian mendengkus dan berjalan keluar kamar sambil memakai kausnya. "Kalau kamu nggak kerja, temani aku liat rumah di Sunflower Land, dong, Ge."
Belum ada jawaban. Geva masih sibuk bersiap di dalam kamar. Akhirnya Berlian membuat sarapan untuk dirinya sendiri dan sahabatnya itu.
Berdiri cukup lama di depan kulkas, membiarkan hawa dingin menerpa wajahnya selagi dia memikirkan menu sarapannya pagi ini.
"Boleh. Tapi, nanti aku menginap lagi, ya." Geva menyusul ke dapur. Dia mengambil gelas lalu membuat kopi. "Be, dengar aku nggak, sih?" tegurnya.
"Iya dengar." Berlian menutup pintu kulkas dan berpaling pada Geva. "Aku aja yang menginap di apartemenmu, kalau kamu menginap di sini lagi, bisa-bisa besok kita diarak warga keliling kampung."
"Eh, kalau habis diarak gitu biasanya di apain, Be?"
"Dinikahkan," pungkas Berlian yang sedang berjinjit menggapai panci dari rak gantung.
"Makasih," ucapnya ketika Geva mengambilkan untuknya.
"Makanya tumbuh ke atas, Be, jangan ke bawah," selorohnya membuat Berlian mendengkus kasar. "Nikahnya gratis? Ayo, lah, Be. Nggak apa-apa kita dinikahkan kalau gratis," ucap Geva asal.
"Sembarangan! Begini, nih, kalau otak nyicil," cibir Berlian. "Pertama, diarak keliling kampung, tuh, malu, Ge. Malu banget. Kedua, siapa juga yang mau nikah sama kamu? Ayamnya Pak Warno juga nggak mau." Wanita itu bergidik ngeri.
Geva diam setelah mendengar penuturan Berlian yang cukup menusuk hatinya. Dia memejamkan mata sebentar, setelah itu membawa gelas kopinya ke ruang tengah.
Berita pagi yang menayangkan artis ibukota yang sedang viral karena bertengkar dengan seorang youtuber, menjadi teman mengopi Geva pagi ini.
Geva sudah mengenal Berlian selama hampir sepuluh tahun, dia sangat tahu seperti apa tajamnya lidah wanita itu saat bicara, seperti apa sifatnya dan apa saja kebiasaan yang dia sukai maupun tidak disukai. Tapi belakangan ini, Geva seperti mulai tidak bisa menerima itu semua, karena mendadak dirinya menjadi sensitif.
"Ge, mau nggak?" Berlian membawa mangkuk mi instan kemudian duduk di samping Geva yang sedang pura-pura serius menonton.
Diarahkannya mangkuk mi yang mengeluarkan aroma kari ayam ke depan wajah Geva. Hangat asapnya menerpa wajah pria itu dan membuat perutnya seketika bereaksi.
Geva melirik dan Berlian tersenyum lebar. "Aku suapin, mau?" Berlian menawarkan dan itu hal yang jarang sekali terjadi. Buru-buru Geva mengangguk dan tak lama kemudian dia menerima gulungan mi dari Berlian. "Enak, 'kan?"
"Enakan kamu, sih, Be," jawab Geva jujur sambil memuji kecantikan Berlian dari dalam hatinya.
"Ah! Dasar otak mesum! Pikiranmu nggak pernah jauh dari begituan, Ge."
"Kalau pikiranku nggak ke situ, justru nggak wajar, Be."
"Terserah."
"Kamu mau pergi jam berapa?"
"Setelah selesai makan aja, deh, gimana?
"Nggak ada yang gratis di negara ini, kecuali udara, Be."
"Mulai deh ...."
"Ina-inu dulu, deh, Be, sebentar. Ya?" Geva menelengkan kepalanya disertai senyum miring yang menyebalkan.
"Geva!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Berlian || Liam Payne
Fiksi Ilmiah18+ 》Follow sebelum membaca《 》Pilihlah bacaan yang sesuai《 》Jadilah pembaca yang bijak《 . . . Gevariel percaya cinta, tapi Berlian, tidak. Bagi Berlian, cinta hanyalah omong kosong yang tujuannya untuk mencari pasangan yang dapat memuaskan hasrat...