Persembunyian Berlian

23 2 1
                                    

Sangatlah salah, seorang pengacara perusahaan seperti Geva justru membantu menutupi jejak kasus pembunuhan yang dilakukan oleh atasannya kepada mantan teman sekaligus tetangganya sendiri.

Namun, mengingat korban pembunuhan itu adalah pria yang pernah membuat Geva sangat marah dan juga sudah membuat Jessie nyaris mati karena kekerasan seksual yang Arkan lakukan. Akhirnya Geva mau membantu untuk menghilangkan jejak Arkan.

Louis tidak main-main saat dia mengatakan akan memberi pekerjaan untuk Geva. Bahkan dia juga tidak main-main dengan jumlah uang yang diberikannya setelah berhasil menghilangkan jejak Arkan. Untung saja bajingan itu sudah tidak memiliki siapapun di hidupnya—dan dia sudah mati sekarang.

"Udah lama deh, aku nggak liat Arkan." Tiba-tiba Giana berucap saat dirinya sedang mencuci sayuran. Geva yang sedang duduk di ruang tengah sambil menonton pertandingan sepak bola, pura-pura tidak mendengar. "Aku juga jarang ngeliat Jessie dan teman-temannya," sambung

Giana lagi yang masih belum mendapat tanggapan dari Geva.

Geva tidak pernah menceritakan kejadian malam itu pada siapapun. Bahkan pada Giana sekalipun. Hanya dirinya dan Louis yang menyimpan rahasia soal Arkan.

"Ge, Sayang!" panggil Giana dan Geva langsung menoleh. Wanita itu mendengkus karena pertanyaan sebelumnya tidak dijawab—mengira kalau kekasihnya itu tidak mendengar, tapi ketika dipanggil sekali, Geva langsung menoleh.

"Kenapa?"

"Nanti sore, aku mau pulang ke rumah orangtuaku. Kamu bisa tinggal di sini atau balik ke unitmu juga nggak apa-apa."

"Kok mendadak?"

Giana mulai mengiris mentimun menjadi irisan tipis dan memanjang, yang kemudian dia masukkan ke dalam mangkuk berisi air dingin serta es batu agar tetap segar.

"Adikku ulang tahun dan kebetulan juga mau kenalin calon tunangannya ke keluarga."

Geva tidak pernah tahu kalau Giana memiliki seorang adik. Bahkan dia tidak pernah bertanya apapun soal kehidupan kekasihnya itu. Karena ... menurut Geva, dia belum perlu sejauh itu mengetahui latar belakang Giana. Dia belum mencintainya.

"Oh gitu." Hanya itu tanggapan Geva.

Karena tidak akan mungkin dia menawarkan diri untuk ikut hadir untuk bertemu orangtua Giana dalam keadaan anaknya yang sedang mengandung seperti sekarang, bukan?

Giana memiliki tubuh yang ramping. Dalam usia kandungan yang sudah memasuki lima bulan, perutnya sudah terlihat sangat membuncit, karena biasanya perut Giana selalu rata. Dia tidak ingin merusak suasana.

"Cuma itu?" Giana mengangkat wajahnya dan matanya bertemu dengan mata Geva yang sedari tadi memerhatikannya sedang mengiris mentimun.

"Apanya?" tanya Geva bingung.

"Responmu cuma 'oh gitu'?" Giana cemberut. Dia meraih satu buah wortel yang sudah bersih setelah dicuci tadi. Dengan perasaan sedikit kecewa, Giana mengiris wortel di atas talenan kayu sampai menimbulkan suara yang mana membuat Geva mengerti kalau kekasihnya itu mengharapkan respon lebih.

Tiba-tiba ....

"Aw!" Pisau yang digunakan Giana untuk mengiris wortel, dilemparkan ke dalam wastafel. Wanita itu mengisap jari telunjuknya yang tidak sengaja tergores.

"Astaga, Gia!" Geva melompat dari sofa dan segera memeriksa luka di jari Giana. Dia mencelupkan jari Giana ke dalam mangkuk yang berisi air dingin serta irisan mentimun. Giana melotot padanya, tapi dia tidak peduli.

"Ya, ampun! Kenapa kamu celupkan jariku ke sini? In ikan, ada mentimunnya, Geva!"

"Kenapa kamu mengiris jarimu? Ini kan, bukan mentimun, Giana."

Mendengus kesal. Giana tidak dapat menerima bentuk lelucon apapun untuk saat ini. "Liat itu! Airnya jadi warna merah muda begitu," kata Giana yang sudah menarik jarinya keluar dari dalam mangkuk.

Pendarahannya sudah berhenti dan Geva mengeringkannya menggunakan handuk kecil sebelum membungkusnya dengan plester yang diambilnya dari dalam kotak P3K.

"Bukannya merah muda adalah warna kesukaan setiap wanita?"

"Aku enggak!" Tapi Berlian suka.

Berlian ... bagaimana kabarnya saat ini?

.

.

.

Sejak runtuhnya tekad bulat Berlian untuk menggugurkan kandungannya di klinik illegal. Dia memutuskan untuk menyewakan rumahnya, kemudian pindah ke sebuah kos-kosan, menyewa kamar kecil dari hasil uang sewa rumahnya. Kelebihan uang sewa dijadikan pegangan untuknya makan setiap bulannya.

Pada saat bulan kedua, Berlian sudah mencoba untuk mengkonsumsi soda serta alkohol ... dengan harapan janinnya akan rusak, kemudian akan gugur dengan sendirinya tanpa perlu melakukan hal menyakitkan serupa aborsi.

Tapi anehnya, dia tidak merasakan apapun ... dan justru merasa perutnya semakin terlihat memasuki bulan keempat.

Berlian sudah mengirim lamaran ke berbagai perusahaan media untuk menempati posisi illustrator, tapi hingga kini belum ada satupun panggilan wawancara untuknya.

Kenapa tidak mendatangi kembali perusahaan penerbitan yang direkomendasikan oleh Louis? Berlian tidak mau lagi berurusan dengan Louis maupun Geva. Tidak sampai janinnya hilang.

Berlian masih menyempatkan diri untuk pulang ke rumah orangtuanya beberapa kali, hanya untuk memberitahu bahwa dirinya masih hidup. Karena Berlian takut jika sesuatu yang buruk akan membawanya pada kematian suatu hari nanti.

"Mbak, ini ketopraknya udah jadi." Suara tukang ketoprak membawa Berlian kembali kea lam sadarnya.

"Makasih, Bang." Disantapnya sepiring ketoprak pedas oleh Berlian, sebagai menu sarapannya pagi ini.

Di saat wanita hamil mengusahakan gizi yang terbaik untuk calon buah hatinya, berbanding terbalik dengan Berlian yang sengaja jajan sembarangan agar membuat janinnya tidak tahan berada di dalam rahimnya.

Seharusnya hidup Berlian tidak seperti ini. Seharusnya dia berada di kedai kopi mahal menikmati frappuccinonya atau berkeliling di dalam mal untuk membeli barang-barang yang tidak akan pernah dia pakai dan dia sesali ketika sudah sampai di rumah.

Duduk di atas kasur lantai yang tidak terlalu tebal dan jauh sekali dari kata 'empuk' seperti ranjang miliknya di rumah. Berlian memandangi obat yang berada di tangannya. Dia membaca kembali aturan pakai yang diberitahu sang penjual melalui salah satu situs online.

Obat penghancur janin itu dia dapatkan beberapa hari yang lalu, setelah mencarinya selama tiga bulan. Sulit untuk menemukannya, dan ketika sudah berada di tangannya ... Berlian justru menjadi ragu untuk menggunakannya. Terlebih setelah membaca efek apa saja yang akan dia alami dalam proses penghancuran janinnya tersebut.

Ddiberitahu, dalam penggunaan obat tersebut alangkah baiknya didampingi oleh seseorang karena dikhawatirkan pendarahan hebat akan membuatnya kesulitan untuk bergerak dan sebagainya. Mengingat Berlian hidup sebatang kara sekarang, dia menjadi semakin ragu.

Suara ketukan di pintu kamarnya membuat Berlian melompat karena terkejut. Selama tiga bulan dia tinggal di kamar kosan ini, belum pernah sekalipun ada orang yang mengetuk pintu kamarnya. Bahkan dia tidak mengenal siapapun di bangunan kos-kosann yang dia tempati sekarang.

Pelan-pelan Berlian memutar knop pintunya dan membuka sedikit pintu untuk melihat siapa yang mengetuk pintu kamarnya. Ada sosok seorang pria yang berdiri memunggungi pintu kamarnya. Pria yang memakai hoodie abu-abu.

"Maaf, siapa ya?" tanya Berlian se-sopan mungkin. Dia tetap berada di balik pintu dan hanya memberi celah kecil saja untuk mengintip.

Sosok pria tersebut berbalik dan Berlian nyaris saja menjerit. "Hai, Be!"

Friends With Berlian || Liam PayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang