Hadiah dari Louis

29 2 0
                                    

Sebelum berpisah dengan Jessie. Wanita itu meminta Berlian untuk menunggu sebentar selagi dia kembali ke penthouse untuk mengambil sesuatu.

Awalnya Berlian bingung, tapi akhirnya dia menurut saja. Menunggu di kursi lobby sambil berbincang ringan dengan Arkan.

"Jadi, kamu dan Geva sahabatan dari SMA?" tanya Arkan membuka obrolan.

Berlian mengangguk. "Kalau kamu dari kapan temenan sama Geva? Aku nggak tau kalau dia punya teman selain aku," kekeh Berlian.

"Sejak aku pindah di sini, sih." Arkan tersenyum. "Kamu sama Geva tuh semacam friends with benefit gitu ya?"

Pertanyaan dari Arkan membuat Berlian memejamkan matanya. Tidak ada yang salah dari pertanyaan itu, memang. Hanya saja, pria itu terkesan sangat tidak sopan menanyakan hal itu pada seseorang yang baru dikenalnya.

"Mungkin," jawab Berlian malas.

Gelak tawa Arkan menggema di lobby. "Kamu nggak ada perasaan lebih gitu ke Geva? Ya, kan ... kalian udah lama nih bareng-bareng. Apa kamu nggak cemburu kalau Geva deket sama cewek lain?"

Menghela napas. Berlian berpikir sejenak, dia mengingat-ingat apakah pernah memiliki rasa cemburu terhadap Geva. "Nggak. Hubunganku dan Geva pure sahabatan," ucapnya penuh keyakinan.

"Kabar burungnya, Geva bakal nikah sama Giana, nih. Terus kamu gimana? Kamu single, kan, Be? Apa nggak sedih 'tuh?"

Menikah dengan Giana? Geva belum pernah membicarakan soal rencana itu pada Berlian. Dia pernah menyinggungnya satu kali, tapi Geva tidak menanggapi jauh, justru mengalihkannya.

"Aku senang kalau Geva senang," jujur Berlian.

"Ah, omong kosong!" Arkan mengibaskan tangan dan tergelak. "Nggak ada teorinya kayak begitu, Berlian. Aku yakin, kamu pasti menyimpan rasa sama Geva. Tapi kamu menyangkalnya. Iya, kan?"

Mulai merasa tidak nyaman. Berlian pun tidak menanggapi Arkan. Dia mengalihkan perhatiannya pada orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya."Aku heran, kok bisa ya Geva punya gebetan banyak, tapi tetap FWB-an sama kamu? Aku pun heran sama cewek kayak kamu yang mau aja jadi friends with benefit begitu."

Berlian memicingkan matanya. Dia mulai tersinggung dengan perkataan Arkan. "Aku pun heran sama kamu, kok usil banget ya berkomentar tentang urusan orang lain?" Sederhana memang, nada bicaranya pun juga biasa saja. Tapi Berlian berhasil membungkam mulut Arkan yang lancang.

Jessie datang sambil setengah Berlari. Dia membawa sebuah kantung kain warna hitam dengan napas terengah-engah. "Maaf, ya, lama. Aku nggak kuat lari," katanya. Lalu menyelip duduk di antara Berlian dengan Arkan. "Ini!" Dia memberikan kantung kain warna hitam pada Berlian.

"Apa ini?" Berlian menerima dengan ekspresi bingung.

"Setelah Louis pulang dari Surabaya, dia nitipin ini ke aku. Katanya untuk kamu. Tapi, kan ... berhubung aku nggak tau rumahmu dan ponselmu selalu nggak aktif, jadinya masih aku simpan sampai Louis ke London," papar Jessie panjang lebar. "Ar, ayo! Sekarang aja berangkat!" Dia berdiri dan mengulurkan tangannya pada Arkan.

"Ini beneran buat aku, Jess?" Berlian masih bingung dan tidak menyangka kalau Louis memberinya sebuah ponsel baru.

"Iya, Berlian. Oh iya, aku sama Arkan pergi duluan ya. Takut macet." Jessie memeluk singkat Berlian. Sedangkan Arkan sudah lebih dulu berjalan. Pria itu sepertinya marah pada Berlian dan sama sekali Berlian tidak peduli.

Kembali ke rumah dengan perasaan senang karena mendapatkan ponsel baru secara gratis. Sejak ponselnya rusak, Berlian menang sengaja menahan diri untuk tidak membeli yang baru. Mengingat sisa uang di tabungannya yang sudah menipis. Dia berusaha memperbaiki ponselnya dengan tutorial yang di dapatkan dari internet. Walau hasilnya nihil.

Sesaat setelah Berlian memasukkan sim card ke ponsel barunya, masuklah rentetan pesan. Mulai dari Muthia yang memintanya segera pulang untuk bertemu dengan salah satu anak temannya, kemudian pesan dari Jessie yang menanyakan kabar, dan terakhir pesan dari Louis.

Tidak ada satupun pesan masuk dari Geva—sahabat yang biasanya selalu melaporkan apapun yang tengah dia kerjakan setiap harinya. Sahabat yang menjadikan Berlian layaknya buku harian.

Mendesah kecewa, Berlian membuka pesan dari Louis beberapa hari lalu.

Louis :
Hai, Berlian! Apa kamu udah terima ponselnya?

Louis :
Lusa. Aku dan Geva ada pekerjaan di Holmfirth. Apa kamu mau ikut? Kamu punya paspor, Be?

Rahang Berlian nyaris saja jatuh membaca isi pesan itu. Seandainya saja ponselnya tidak rusak. Pasti dia akan sangat senang sekali sewaktu membacanya di hari itu.

Sejak kecil, salah satu Negara yang sangat ingin Berlian kunjungi adalah Inggris. Selain Negaranya, Berlian jatuh cinta pada penduduknya. Inggris memiliki daya tariknya tersendiri dan penduduknya memiliki daya tarik yang unik melalui aksennya yang khas.

Andai saja ponselnya tidak rusak. Mungkin saat ini Berlian sedang berswafoto di Kota Holmfirth yang berada di bagian Yorkshire Barat.

Berlian :
Hai, Lou. Maaf aku baru bales. Aku baru ketemu Jessie hari ini, dan dia ngasih ponsel ini. Kamu kenapa repot-repot beliin aku ponsel, sih?

Lama tidak ada balasan. Berlian mulai melakukan pekerjaan rumahnya. Dia menyibukkan diri dengan mengepel lantai sambil memanaskan pasta di dalam microwave.

Setelah selesai mengepel lantai. Berlian segera menyantap pastanya. Beberapa kali dengan sengaja dia menghirup aroma keju yang menyeruak dari pastanya.

Suara dering panggilan masuk membuat Berlian terkejut dan mengumpat pada benda pipih yang diletakkan di samping mangkuk pastanya.

Berlian belum sempat mengatur nada dering dan volume ponsel barunya, sehingga sewaktu ada panggilan masuk, suaranya sangat kencang sekali dan membuatnya terkejut bukan main.

"Halo!" Berlian mendesah kesal. "Siapa ini?"

"Hai, Berlian!" Suara itu!

Berlian melihat nama yang muncul di layar ponselnya. Ternyata itu adalah Louis. Dia merutuki dirinya sendiri karena tidak melihat nama sebesar itu ketika menerima panggilan tadi.

Kembali menempelkan ponsel ke telinganya. "Hai, Lou! Ada apa? Maaf, aku nggak sempat liat namamu."

Terdengar suara tawa kecil dari seberang sana yang membuat Berlian mengulum senyumnya.

"Apa aku mengganggumu?"

"Enggak, kok. Aku baru aja selesai makan," bohong Berlian. Pasta di mangkuknya belum habis. Dia belum selesai makan, tapi mendnegar suara Louis ... perutnya mendadak kenyang.

"Makan siang yang telat?"

Berlian terkekeh. "Aku udah makan siang tadi bareng Jessie, tapi pas sampai di rumah ... laper lagi."

"Aku juga baru selesai makan. Sarapan, sih."

"Di sana jam berapa, Lou?"

"Delapan pagi. Aku dan Geva berada di Heathtrow, menunggu penerbangan kembali ke Jakarta."

"Wah ... pulang hari ini?"

"Iya. Pekerjaan selesai lebih cepat dari perkiraan." Berlian mengangguk dan dia kembali merutuki diri sendiri, karena percuma saja anggukkan kepalanya tidak dapat dilihat oleh Louis. "Aku kangen kamu, Be."

Berlian memejamkan matanya. Dia berusaha menggenggam kuat ponselnya supaya tidak jatuh dan berakhir sama dengan ponsel sebelumnya.

Kedua pipinya menghangat. Dia menjadi salah tingkah sendiri. Membuka matanya kembali, dia mengibaskan telapak tangan ke wajahnya sendiri yang sudah memerah. Cuaca mendung, tapi Berlian merasa kepanasan.

"Be, apa aku boleh mampir kalau udah sampai Jakarta?"

"Boleh," jawabnya cepat dan Louis terkekeh di tempatnya.

Friends With Berlian || Liam PayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang