"Geva!" pekik Berlian sewaktu pria itu mengoleskan krim ke wajahnya. Berlian membalas perbuatan Geva dengan menjejalkan potongan besar kue ulang tahunnya ke mulut pria itu, lalu keduanya tertawa.
"Ini kado buat kamu, Gi." Dikeluarkannya sebuah gelang material platina dengan gantungan berbentuk kunci dari dalam saku celana Geva.
"Kok, nggak dibungkus, sih? Kamu beli gelangnya di Taman Puring, ya?"
"Sembarangan! Aku belinya di Blok M Square," gurau Geva sembari memasangkan gelang itu ke tangan Berlian.
"Pasti bukan berlian," ledek Berlian sambil cekikikan.
Geva mengangkat wajahnya dan menarik bibirnya ke bawah. "Aku belum punya uang beliin kamu gelang Berlian. Tapi, kalau kamu mau jadi istriku nanti ... pasti aku beliin."
"Mulai lagi!" Berlian mendorong kening Geva sehingga kepala pria itu terdorong ke belakang dan dia tertawa. "Kenapa gantungannya bentuk kunci?"
"Kenapa kamu banyak tanya?"
"Aku mau tau!" rengek Berlian yang mana membuat Geva mendesah dan akhirnya mengalah.
"Karena cuma kamu yang bisa buka hatiku, pakai kunci ini," gurau pria itu lagi yang kini membuat Berlian mencubitinya habis-habisan sampai meminta ampun.
"Alay banget sih!"
.
.
.
Setelah kepulangan Galih dari rumahnya. Berlian mencari-cari gelang hadiah ulang tahunnya dari Geva tahun lalu. Dia duduk di lantai, punggungnya bersandar pada tepi ranjang.
Tangannya memegang gelang hadiah ulang tahun dari Geva. Lintas ingatan membawanya ke hari itu ... hari di mana mereka menghabiskan waktu bersama di Kota Bandung.
Tapi ulang tahunnya kali ini sangat berbeda. Jangankan Geva, bahkan dirinya sendiri pun lupa jika Galih tidak datang pagi tadi dan mengucapkan selamat ulang tahun padanya.
"Aku kangen kamu, Ge." Tanpa sadar, Berlian mengeluarkan kalimat itu dengan sendirinya.
Suara ketukan di pintu, membuat Berlian bangkit dari lantai dan berjalan untuk membuka pintu rumahnya.
"Geva?" Baru beberapa menit yang lalu Berlian merindukan sosok Geva. Kini, pria itu sudah berada di ambang pintu rumahnya. Berlian melongok ke luar. "Kamu sendiri? Nggak bawa motor?"
Geva menggelengkan kepalanya. "Motorku di bengkel biasa yang didekat sini, makanya aku mampir. Sekalian mau kasih ini." Dia memberikan sebuah kantung kain kecil pada Berlian. "Selamat ulang tahun, Be."
Geva ingat! Pria itu masih mengingat hari ulang tahun Berlian."M-makasih, Ge."
"Pacarmu ada di rumah?"
"Pacar?" Geva mengangguk dan Berlian langsung tersadar.
"Oh! Enggak ada, dia lagi keluar kota." Lagi dan lagi kebohongan meluncur dari mulutnya. "Mau masuk, Ge?"Kening Geva berkerut. "Kalau boleh, aku mau numpang pipis."
"Boleh. Silakan."
Geva dengan santainya berjalan menuju kamar mandi, sedangkan Berlian merutuki dirinya sendiri yang mendadak canggung dan kikuk seperti tadi. Dia mengambil dua buah kaleng soda dari dalam kulkas, kemudian duduk di kursi makan.
"Kamu masih simpan ini, Be?" Geva keluar dari kamar Berlian sambil memperlihatkan gelang pemberiannya di tangan kanan.
"Iya, dong! Masih." Senyum Berlian terlihat jelas sangat dipaksakan. Geva mengangguk-anggukkan kepalanya dan tersenyum tipis sambil menggeret kursi makan, kemudian duduk di seberang Berlian.
"Kukira udah ilang." Geva meletakkan gelang itu di atas meja makan. "Oh iya, Be! Kamu mau sewa unitku nggak?" tanyanya sambil membuka kaleng soda dan menyesapnya sambil melihat kea rah Berlian.
"Sewa unitmu? Kenapa emangnya?"
"Aku mau tinggal bareng Giana."
"Kalian jadi menikah?"
"Hm, belum, sih. Kemungkinan setelah anak kami lahir baru menikah. Ya, kamu tau sendiri deh, gimana aturannya kalau—"
Berlian tidak lagi mendengar kelanjutan kalimat yang diucapkan Geva. Telinganya berdenging dan pikirannya tenggelam jauh akan bayangan Geva menikahi Giana—membesarkan anak mereka bersama.
"Be! Berlian!" Geva mendekatkan wajahnya ke wajah Berlian.
Berlian mengerjap. Jarak wajahnya dengan Geva membuatnya menelan ludah susah payah. Mendadak tenggorokkannya terasa kering dan ... Berlian lari ke wastafel.
Dia kembali muntah lagi. Belum ada makanan yang dia makan sejak pagi, sehingga yang dikeluarkan olehnya hanya cairan saja.
Geva berlari. Memijat tengkuk Berlian dan memutar kran air untuk menyiram cairan muntahan Berlian di dalam wastafel. Kemudian pria itu menuntun Berlian untuk berbaring di ranjang.
Baru saja duduk di tepi ranjang, Berlian kembali muntah dan yang keluar benar-benar hanya cairan tanpa warna.
Tangan Geva bergerak cepat menarik kaus Berlian melalui kepalanya. Menggantikannya dengan kaus bersih dan Wanita itu menurut saja karena sudah terlalu lemas.
"Kamu sakit? Kenapa nggak bilang?" Geva menumpuk bantal untuk Berlian. Lalu dia mengambil kaus kotor Berlian, lalu digunakan untuk membersihkan cairan muntahannya di lantai dan membawanya ke kamar mandi.
"Taruh aja di bawah, Ge. Nanti aku cuci," ujar Berlian dengan suara yang bergetar karena lemas. Tubuhnya gemetar dan kepalanya pusing.
"Udah aku rendam pakai sabun cuci dan pewangi. Tinggal di bilas aja nanti." Geva duduk di ranjang. Dia membuka laci nakas—mengeluarkan minyak angin aromaterapi dan mengolesinya pada leher, dada dan perut Berlian. "Udah ke dokter belum?"
Berlian menggeleng lemas. "Aku kayaknya beneran keracunan makanan, deh."
"Makan apa emangnya?"
"Asam padeh, beberapa hari yang lalu." Tenggorokkan Berlian terasa kering dan perih. "Ge, boleh minta tolong ambilin minum?"
Tidak menjawab. Tapi Geva langsung beranjak pergi ke dapur dan kembali dengan segelas air mineral dan susu kaleng. "Nggak mau cek ke dokter aja?" tanyanya sambil menyodorkan gelas air minum.
Sambil meminum airnya, Berlian menggeleng lagi. "Aku baik-baik aja. Kemarin-kemarin juga begini, tapi nggak apa-apa."
"Muntahnya terus-terusan sejak abis makan asam padeh? Terus, sama sekali nggak ada niatan cek ke dokter? Atau inisitaif pacarmu yang membawamu ke dokter, nggak ada?" Nada suara Geva berubah. Dia seperti sedang menahan kekesalan, yang mana sangat terdengar jelas dalam nada bicaranya.
"Maaf ya, jadi ngerepotin." Berlian menyentuh tangan Geva.
"Nggak usah ngalihin, Be."
"Ge, please!" mohon Berlian dengan sisa tenaganya.
Dia tidak ingin berdebat masalah pergi ke dokter atau apapun dengan Geva. Tubuhnya kali ini terasa benar-benar lemas, jauh lebih lemas dari sebelum-sebelumnya. Mungkin juga disebabkan oleh perutnya yang kosong sejak pagi tadi.
Geva menghela napas, kemudian dia mengangguk pasrah. Seperti biasanya, mengalah untuk Berlian. Lalu, ponselnya berdering dan dia segera mengeluarkannya dari saku celana. Dia melirik Berlian sebentar sebelum menerima panggilan masuk.
"Halo, Sayang. Ada apa?"
Sayang? Geva sudah memanggil Giana dengan sebutan 'sayang'? Setelah dia mengungkapkan perasaannya pada Berlian, kini terang-terangan memanggil wanita lain dengan panggilan 'sayang' di hadapan Berlian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Berlian || Liam Payne
Science Fiction18+ 》Follow sebelum membaca《 》Pilihlah bacaan yang sesuai《 》Jadilah pembaca yang bijak《 . . . Gevariel percaya cinta, tapi Berlian, tidak. Bagi Berlian, cinta hanyalah omong kosong yang tujuannya untuk mencari pasangan yang dapat memuaskan hasrat...