Anak Kecil Yang Mengganggu

29 2 1
                                    

Sejak Berlian tiba di rumah Alara, dia dibuat pusing oleh tangisan dari anak kedua sahabatnya itu, ditambah dengan jeritan anak pertamanya yang membuat telinganya seperti akan berdarah sebentar lagi.

Kadar ketidaksukaan Berlian terhadap anak-anak semakin bertambah dari sebelumnya. Menurutnya, anak kecil sangat berisik dan mengganggu.

Baginya, anak kecil yang masuk dalam kategori pintar dan menggemaskan adalah anak yang tidak suka menjerit, menangis dan membuat pusing kepala. Anak kecil yang pendiam, menurut, duduk manis, dan bertingkah layaknya anak manusia normal—bukan iblis kecil yang menguji kesabaran.

"Duh, Gibran! Apa lagi, sih?" decak Alara sewaktu anak pertamanya kembali menjerit hingga melempar mainan ke arahnya. "Nggak boleh lempar-lempar begitu! Nanti kalau kena Tante Berlian, gimana? Mama nggak pernah ngajarin kamu begini, Gibran!" Melotot Alara pada anaknya yang sama sekali tidak peduli.

"Aku mau mainannya sekarang! Titik!" rengek Gibran sembari menendang-nendangkan kakinya sembarang, hingga beberapa mainan di sekitarnya terpental tanpa arah.

"Nggak bisa, Nak. Adikmu sedang sakit. Tolong ngerti."

"Aku nggak peduli! Mau dia mati sekalipun aku nggak peduli, Ma. Aku cuma mau mainanku sekarang!"

Ucapan anak pertama Alara, cukup membuat Berlian terkejut dan menggelengkan kepala tidak percaya. Bagaimana bisa anak berusia lima tahun berkata seperti itu terhadap adiknya sendiri?

Salah satu mainan mobil-mobilan yang terbuat dari material plastik pun tiba-tiba mendarat ke dalam mangkuk bento milik Berlian yang untungnya sudah habis.

Tidak terbayangkan bagaimana murkanya Berlian jika anak itu memasukkan mainannya ke dalam mangkuk yang berisi makanan yang sedang dia makan.

Berlian adalah manusia keras kepala, egois, dan emosinya meledak-ledak. Kadang, keegoisannya benar-benar tidak memandang siapapun. Entah itu anak kecil maupun lansia.

Amarahnya yang mudah meledak pun tidak memandang usia, dia bisa mengamuk terhadap siapapun yang membuat kesabarannya habis.

Wanita itu bahkan pernah mengamuk pada beberapa anak tetangganya, yang menurut dugaannya berusia sekitar sembilan atau sepuluh tahun. Entahlah.

Kala itu, mereka bermain bola di depan rumah Berlian dan membuka pagar rumahnya tanpa izin untuk mengambil bola. Selain mengamuk, Berlian juga menusuk bola anak-anak tetangganya itu menggunakan pisau dan membelah bola itu menjadi dua bagian.

Sejak itu, tidak pernah ada lagi anak-anak tetangganya yang bermain di depan rumah.

"Ya ampun, maaf ya, Be," ujar Alara disertai senyum canggung. Kemudian dia bangkit dan menyeret anak pertamanya ke dalam kamar.

Anak itu menjerit, memekik, melempar lebih banyak barang dan mungkin juga merusaknya. Berlian hanya mendengar kegaduhan dari dalam salah satu kamar.

Kepala Berlian mulai pusing sekali karena suara anak bernama Gibran itu benar-benar sangat mengganggu.

Tangisan anak kedua Alara pun pecah kembali karena kegaduhan yang dibuat oleh kakaknya. Alara keluar dari kamar dengan sedikit berlari untuk segera mengangkat anak keduanya dari atas karpet di ruang tengah.

Sambil menggendong anak kedua, Alara lanjut memarahi anak pertamanya. Sungguh, ini adalah situasi yang sangat mengganggu Berlian saat sedang bertamu seperti sekarang ini.

"Gibran, tolong berhenti merusak barang atau Mama nggak akan pernah beliin kamu mainan lagi selamanya!" ancaman Alara tidak main-main. Anak pertamanya langsung mengunci mulutnya dan tinggallah tangisan anak kedua yang tersisa.

Berulang kali Berlian menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Dia berusaha untuk tetap terlihat biasa saja di depan Alara. Padahal dia sudah ingin sekali cepat-cepat pergi dari rumah sahabatnya itu.

"Apa suasana di rumah ini selalu begini setiap hari, Al?" tanya Berlian akhirnya.

Alara berpaling dari pintu kamar. Masih menggendong anak keduanya, dia berdiri dan menggerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. "Iya, Be. Pusing ya?" Berlian tertawa hambar dan Alara menggelengkan kepala mengusir pusingnya. "Gibran itu kemauannya harus banget diturutin, kalau enggak, ya bakal ngamuk kayak tadi," tutur Alara.

"Selalu? Harus?"

"Iya," desah Alara yang sepertinya benar-benar kelelahan. "Sifat egoisnya kental banget menurun dari Mas Ferdi. Kasihan banget adiknya ini selalu di salah-salahin terus. Kayaknya dia belum siap jadi kakak, deh." Ada guratan penyesalan yang nampak jelas di wajah Alara.

"Kenapa kamu nggak pakai jasa pengasuh, Al?"

"Nggak boleh sama mertuaku. 'Duh, Be ... kalau kamu mau tau, mertuaku itu resenya minta ampun. Jangankan pengasuh anak, sewaktu aku minta dicarikan orang yang membantu mencuci pakaian aja, aku langsung disindir." Alara duduk kembali di karpet—anak keduanya sudah mulai terlelap walau masih nampak gelisah.

"Mertuamu galak?" Berlian ngeri membayangkan sosok mertua galak, judes, dan menyebalkan seperti Mutiara.

"Galak sih, enggak. Tapi suka banget nyinyir, Be. Untungnya Mas Ferdi paham sih, jadi lebih sering dia belain aku. Cuma kalau pas nggak ada Mas Ferdi, habislah aku jadi santapan mamanya itu."

"Hm, bagus dong. Suamimu sayang sama kamu."

"Alhamdulillah sih, Be. Walaupun pernikahan kami hasil perjodohan, tapi ternyata Mas Ferdi baik banget. Sayang banget sama aku dan anak-anak. Ya, meski kadang-kadang egoisnya bikin aku pengin ngamuk. Tapi nggak mungkin kan, mengamuk sama suami?" kekeh Alara sewaktu dia membaringkan anak keduanya di atas karpet yang diberi alas kasur tipis.

Pernikahan dan memiliki anak semakin terdorong jauh dari pikiran Berlian. Dia menempatkan kedua hal itu dalam urutan paling bawah, yang kemungkinan besar tidak akan pernah mau Berlian menggali untuk meraihnya ke dalam sana.

"Kamu belum ada niatan menikah, Be?" Pertanyaan Alara membuat Berlian tertawa. "Oh iya, Geva apa kabar?"

"Kepikiran untuk nikah pun, nggak ada, Al." Berlian menggosok hidungnya sampai merah. Dia memberi jeda yang cukup lama sebelum menjawab pertanyaan kedua. "Geva mau nikah katanya."

Sakit.
Kenapa hati Berlian terasa sakit saat mengatakan Geva akan menikah?

"Oh ya? Wah! Ayo, dong, Be! Geva aja punya niatan menikah, masa kamu enggak? Kalau Geva udah nikah nanti, kamu nggak kesepian emangnya? Kan, kalian biasa barengan terus."

Tenggelam dalam pikirannya. Pertanyaan dan kalimat terakhir yang Alara ucapkan cukup mengusiknya.

Sebelum Geva menikah saja, dia sudah merasa kehilangan. Walau akhirnya Geva datang kembali menemuinya. Tapi ... Berlian harus bisa menerima kenyataan jika suatu hari nanti Geva akan jauh darinya setelah menikah.

Tidak mungkin seorang sahabat memaksa sahabatnya untuk memprioritaskan diri di atas istri dari sahabatnya tersebut, bukan?

Friends With Berlian || Liam PayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang