Kehangatan Yang Diberikan Gevariel

27 3 0
                                    

"Hadiah ulang tahun terbaik," ujar Geva dengan senyum puas dan napas yang terengah-engah. "Makasih, Be. I love you."

Tidak ada tanggapan maupun balasan dari ucapan terakhi Geva setelah percintaan panasnya bersama Berlian berakhir. Wanita itu tidak tuli, tentu saja dia masih bisa mendengarnya dengan jelas.

Namun ... kembali lagi, percaya dirinya sudahh luntur dan dia benar-benar merasa tidak layak untuk dicintai, oleh siapapun.

"Aku udah nggak enak lagi ya, Ge?" Tiba-tiba saja terlontar pertanyaan itu dari Berlian, yang mana membuat Geva mengernyitkan keningnya. "Pasti udah nggak sama lagi rasanya."

"Kamu ngomong apaan sih, Be? Emangnya aku bilang begitu?" Berlian mengangkat bahunya. Dia menyandarkan kepalanya di dada Geva yang sedikit lembap sisa percintaan mereka tadi. "Aku kan bilang tadi, kalau ini hadiah ulang tahun terbaik yang artinya ... kamu luar biasa."

"Jangan menghiburku, Ge. Aku udah bukan Berlian yang kamu kenal belasan tahun lalu. Aku udah—"

"Aku nggak mau dengar." Geva menekankan ibu jarinya ke bibir Berlian. Ibu jarinya kian menekan bibir bawah wanita itu hingga akhirnya memisahkannya dengan bibir atas.

Rongga yang terbuka dimanfaatkan oleh Geva untuk memasukkan ibu jarinya ke dalam mulut Berlian. Memainkannya di sepanjang lipatan bibir bawah bagian dalam.

Hanya dengan sentuhan seperti itu saja mampu membangkitkan kembali gairah Berlian yang semula sudah surut. Wanita itu mendongak dan saling tatap beberapa saat dengan Geva. Pria itu menggerakkan ibu jarinya keluar-masuk di dalam mulut Berlian.

"Perutmu sakit nggak, Be?" Berlian menggelengkan kepala. Matanya masih tidak lepas dari mata Geva. "Capek nggak?" Wanita itu mengisap ibu jari Geva dan membuat pria itu tersenyum mesum.

"Kenapa emangnya?" tanya Berlian setelah menarik ibu jari Geva keluar dari mulutnya. Kini tangannya memijat jari jemari Geva dan menuntunnya ke dadanya yang tidak tertutupi sehelai benang pun. "Kamu mau lagi?"

"Kamu tau persis, kalau aku nggak pernah merasa cukup, Be." Geva mendekatkan wajahnya ke wajah Berlian.

"Kita butuh makan, Ge. Kakiku rasanya kayak nggak punya tulang."

"Katanya nggak capek?"

"Nggak capek, cuma lemas banget. Emangnya kamu enggak?" Geva menggelengkan kepalanya kemudian menuntun tangan Berlian ke pusat gairahnya yang sudah kembali kokoh seolah tidak pernah kehabisan tenaga. "Oh, wow!" Berlian menggeleng tidak percaya, namun tangannya menggenggam kuat dan memijatnya perlahan-lahan.

"Uh, Be!" geram Geva bersalut gairah yang tertahan di kerongkongannya.

Gelenyar kenikmatan itu mulai menjalar ke ubun-ubun Geva, membuat pria itu melenguh dan mencumbu Berlian penuh nafsu.

Geva mengerang kecewa ketika tiba-tiba Berlian menarik diri dan memberi jarak dengannya. "Aku benar-benar butuh makan, Geva," kata wanita itu sembari bangkit dan mengambil kaus dari dalam lemari Geva secara acak.

Mengenakan kaus pria itu yang sedikit kebesaran di tubuhnya dan hanya menutupi tubuhnya hingga pangkal paha.

"Yang benar aja, Be." Geva mengusap wajahnya sesaat setelah Berlian melenggang keluar dari kamar.

Berlian tersenyum sewaktu melihat keadaan dapur yang sudah bersih. Semalam dia berencana akan mencuci piring pagi ini, tapi ternyata Geva menahannya sampai siang di atas ranjang dan ... dapur sudah bersih.

Berlian akui, sahabatnya itu memang cukup rajin sebenarnya jika sedang dalam suasana hati yang baik.

Mi instan menjadi pilihan Berlian siang ini untuk mengganjal perutnya yang sudah meringis sejak pagi tadi. Dia membuat dua bungkus mi instan dijadikan satu.

Wanita itu memiliki keyakinan kalau Geva pasti akan meminta mi instannya nanti.

"Oh, damn!" desah Geva saat melihat Berlian sedang berdiri di depan kompor, menunggu air di dalam pancinya mendidih.

Wanita itu mengenakan kaus kebesaran milik Geva dan tidak memakai pakaian dalamnya. Benar-benar hanya kaus. "Kamu benar-benar menyebalkan," gumam Geva di telinga Berlian. Pria itu sudah memeluk Berlian dari belakang.

"Minggir! Aku mau masak mi." Berlian menggeliat dalam pelukan Geva—berusaha untuk melepaskan diri namun Geva tidak memberinya celah dan justru mengeratkan pelukannya. "Aku lapar, Geva. Kumohon, biarkan aku makan dulu sebentar."

"Lalu kamu menyiksaku dengan ini?"

Berlian memekik sewaktu tangan Geva menyentuh dadanya dari luar kaus dan meraba paha bagian dalamnya yang mana membuat otot paha wanita itu mengencang dengan sendirinya—refleks.

"Kenapa kamu nggak pakai dalamanmu dulu, Be?" Geva menggigit kecil cuping telinga Berlian sehingga kepala wanita itu terdorong ke bahu Geva.

"Nggak sempat, Be. Aku udah laper banget."

"Oke. Kamu boleh makan, selama aku bisa memakanmu juga."

"Aku masak mi instannya dua bungkus nih. Kamu makan mi aja, ya?"

"Aku maunya kamu. Mau ini dan ini." Pria itu menyentuh puncak dada dan lembah hangat Berlian yang mana membuat jemari kaki Berlian berkerut mencengkeram lantai yang dingin di bawahnya.

Jari panjang Geva sudah memasuki Berlian dan membuat wanitanya melenguh sewaktu dia mengaduk liang hangat yang lembap itu.

Di atas meja dapur, Geva kembali menyalurkan hasrat seksualnya yang lagi-lagi tidak tertahankan. Bercinta dengan Berlian tidak pernah membuat dirinya mampu berhenti dan hanya melakukannya satu kali. Seperti memiliki mantra, wanita itu selalu membuat Geva ketagihan akan tubuhnya.

Erangan Geva bergema di dapur sewaktu dia mendesakkan kejantanannya ke dalam liang hangat Berlian. Berlian berpegangan pada meja dapur, sedangkan Geva berpegangan pada dada wanita itu yang berguncang akibat hujamannya.

Berlian kembali pasrah dan terbuai dalam kenikmatan serta kehangatan yang diberikan oleh Geva. Untuk yang kedua kalinya Geva menumpahkan cairan kemenangannya ke dalam Berlian. Membungkusnya dengan kehangatan yang menggetarkan seluruh tubuh Berlian.

Dalam sekejap wanita itu ambruk—tak kuasa lagi berdiri di atas kakinya sendiri.

Friends With Berlian || Liam PayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang