"Kamu yakin nggak mau periksa ke dokter aja, Ibu hamil?" Niko bertanya sambil mencuci piring kotor bekasnya makan ketoprak bersama Berlian.
Berlian mendengus setelah menarik selimut untuk menutupi bagian kakinya.
Sudah seminggu ini, Berlian merasa tidak enak badan. Sakit akibat tendangan Mutiara sempat mengganggunya selama empat hari, dan setelahnya dia menjadi demam.
Untung saja memiliki tetangga yang cukup peduli dengannya."By the way, bule yang waktu itu datang ke sini ...." Niko mengeringkan tangannya dengan serbet yang dia raih dari atas laci penyimpanan makanan. Dia berjalan mendekati Berlian kemudian duduk di lantai. "Kayaknya aku pernah liat dia, deh."
Suara ketukan di pintu menyelamatkan Berlian dari pembahasan Niko yang tidak dia inginkan. "Biar aku aja," cegah Niko saat Berlian hendak beranjak dari kasurnya.
Pria itu bangkit dan berjalan untuk membuka pintu. Sosok pria yang tingginya hampir sama dengannya, dengan postur tubuh yang sedikit lebih gemuk dan rambut halus di sekitar rahangnya membuat Niko mengangkat alisnya.
"Maaf. Kayaknya aku salah alamat," ujar pria itu dengan raut wajah kecewa."Mau cari siapa?"
"Berlian." Suara itu! Berlian sangat mengenal suara itu.
Tepat pada saat Niko menoleh ke belakang, Berlian melambaikan tangannya tanda penolakan. Mata yang melotot serta gerakan bibir yang mengatakan 'Berlian nggak tinggal di sini' nyatanya tidak dipahami oleh Niko.
"Benar, kok. Ini kamarnya Berlian." Jawaban Niko membuat Berlian mendesah di atas kasurnya dan merutuki kebodohan teman barunya itu yang tidak tanggap akan kode yang dia berikan. "Berliannya tapi lagi tidur. Tuh!" Niko membuka lebar pintu kamar dan memperlihatkan wanita hamil yang terburu-buru menarik selimutnya untuk menutupi seluruh bagian tubuhnya.
"Oh, ternyata dia nggak tidur!" seru Niko dengan seringai jahilnya. Berlian memejamkan mata untuk meredam emosi yang mencuat. Keinginannya untuk mencabut lidah Niko sangatlah besar. "Be, aku balik, ya. Nanti kalau perlu apa-apa ketuk aja dindingnya." Niko melambaikan tangan kemudian berlalu begitu saja meninggalkan tamu Berlian berdiri di ambang pintu.
"Be? Aku masuk ya."
Membuka matanya perlahan—Berlian mengangguk pasrah. Dia masih tidak ingin mengubah posisinya yang setengah berbaring. Dia tidak ingin Geva melihat perutnya. Benar.
Pria yang kini sudah duduk di lantai kamarnya adalah Geva—sahabat yang mencintainya.
"Kamu tau dari mana kalau aku tinggal di sini?"
"Louis."
"Of course." Berlian baru ingat kalau Louis telah memberitahu Geva tentang rahasia mereka selama ini.
"Ada apa?"
Geva tersenyum kecil. Kerinduannya akan sosok jutek Berlian sudah terbayarkan. "Kamu apa kabar?"
"Bukannya kamu udah pernah tanya kabarku waktu kita ketemu di Starbun?"
"Itu udah ... hampir satu bulan." Geva menarik napas panjang, mengembuskannya melalu mulut pelan-pelan. "Aku mau minta maaf, Be."
"Maaf kenapa?"
"Aku .. maaf karena aku ninggalin kamu di Starbun."
Berlian tertawa kecil dan cukup hambar. "Bukan masalah besar. Giana pasti salah paham. Iya kan?"
"Iya. Tapi ... udah beres kok. Udah lewat."
"Syukur deh. Dia udah melahirkan?"
"Belum. Kemungkinan minggu ini."
"Oh."
"Jadi, kamu mau maafin aku?" Berlian mengangguk. "Makasih ya, Be."
"Aku nggak perlu minta maaf sama kamu, kan?"
"Untuk?"
"Rahasiaku sama Louis."
Geva memejamkan mata sebentar. Kepalanya bergerak untuk menggeleng dengan sedikit keterpaksaan. "Setiap manusia punya rahasia masing-masing, termasuk rahasia di belakang sahabatnya sendiri."
Datang di waktu yang tidak tepat. Berlian merasakan sakit di bagian perutnya. Kram yang tidak tertahankan namun harus dia paksa untuk tahan supaya Geva tidak mencuriaginya. Dari balik selimut yang menutupi tubuhnya, Berlian mencengkeram sprei kuat-kuat.
"Jadi, kabarmu baik?" Berlian hanya mampu menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Geva yang baginya hanya omong kosong.
Benar dirinya merindukan sosok pria itu, tapi waktunya tidak tepat. Bukan sekarang waktu yang Berlian inginkan untuk bertemu dengan Geva. Tidak dalam keadaan sakit seperti sekarang dan tidak di dalam kamar kosnya yang cukup buruk.
Geva memeriksa ponselnya yang sejak tadi bergetar. Berlian dapat mendengar dengungan yang cukup menganggunya. "Kenapa nggak diangkat? Barangkali penting," ujar Berlian yang berharap Geva menerima panggilan kemudian pergi ke luar, supaya dirinya dapat mengubah posisi.
"Aku nggak kenal nomornya," jawab Geva sambil memandangi layar ponselnya dengan kerutan ragu di wajahnya. Sampai panggilan tersebut berhenti dan sedetik kemudian kembali muncul, pria itu masih menatap layar ponselnya—enggan untuk menerima.
"Ge, diangkat aja, deh itu teleponnya," paksa Berlian yang membuat Geva menoleh dan menatapnya sekilas.
"Halo." Akhirnya Geva menerima panggilan masuk itu. Raut wajah pria itu berubah dengan sangat cepat.
Tubuhnya bergerak untuk segera bangkit dari posisi duduk. "Baik. Saya segera ke sana.""Kenapa?" tanya Berlian saat melihat guratan khawatir di wajah sahabatnya.
"Giana melahirkan."
"Sekarang?" Geva mengangguk. "Ya udah, sana cepetan pergi!"
"Tapi, Be—"
"Astaga! Apa lagi? Kamu ke sini cuma mau minta maaf sama aku, kan? Aku udah maafin. Itu istrimu mau melahirkan loh, Geva," gemas Berlian karena pria itu masih saja berdiri mematung.
"Aku ke sini bukan cuma untuk minta maaf, tapi juga—"
"Gevariel Gerald! Giana butuh kamu sekarang. Cepetan!"
Helaan napas Geva terdengar berat kali ini. Dengan sangat tidak rela, dia terpaksa meninggalkan Berlian untuk segera menuju Steels Care—menemani Giana melahirkan. Anak yang selama ini sangat Geva harapkan kelahirannya, tapi hari ini mendadak dia kehilangan keinginannya itu.
"Niko!" teriak Berlian sambil memukuli dinding kamarnya yang menjadi pembatas antara kamarnya dengan Niko. "Niko! Cepetan ke sini! Tolong aku, Nik!"
Menyibakkan selimutnya. Berlian merasakan lembap di celana dalamnya. Rasa sakitnya kini mengumpul pada panggulnya yang sungguh terasa menyiksa. Suara langkah kaki dan pintu yang terbuka kemudian mengayun tertutup terdengar jelas. Sesaat kemudian Niko muncul dengan tergopoh-gopoh.
"Astaga! Berlian kamu berdarah!" Niko dibuat terkejut dengan keadaan Berlian. Dia melihat adanya darah di sprei saat Berlian tengah beringsut—hendak berdiri.
Membantunya dengan sangat hati-hati. Niko meraih kunci mobil Berlian yang diletakkan di atas kulkas kecilnya.
Tanpa menunggu persetujuan Berlian, dia segera menggendong tubuh wanita itu. Membawanya menuju rumah sakit terdekat. Berlian ingin protes, tapi dia terlalu lemah untuk bersuara.Dia hanya fokus pada rasa sakitnya. Bahkan tidak memedulikan Niko yang menyetir layaknya seorang pemabuk di siang bolong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Berlian || Liam Payne
Science Fiction18+ 》Follow sebelum membaca《 》Pilihlah bacaan yang sesuai《 》Jadilah pembaca yang bijak《 . . . Gevariel percaya cinta, tapi Berlian, tidak. Bagi Berlian, cinta hanyalah omong kosong yang tujuannya untuk mencari pasangan yang dapat memuaskan hasrat...