Hari sudah siang, namun Berlian dan Geva masih bergelung di atas ranjang.
Sejak terbangun pagi tadi, mereka berdua hanya berpelukan dan berbincang ringan membahas masa lalu serta kebiasaan-kebiasaan yang bisa mereka lakukan dalam meyarayakan ulang tahun satu sama lainnya.
Walau keduanya masih bermesraan seperti sekarang, namun ... apa yang dirasakan Berlian sungguhlah berbeda.
Sejak Geva menyakitinya, lalu dirinya mengkhianati persahabatan mereka dengan berhubungan bersama Louis hingga mengandung anak dari pria itu.
Berlian merasa tidak lagi pantas menjadi seorang sahabat untuk Geva, setelah apa yang dia lakukan dibelakang Geva selama ini. Dia juga merasa tidak pantas dicintai oleh pria itu. Keangkuhan Berlian sudah luntur sejak dirinya hamil dan keguguran.
Geva memainkan jemari Berlian, entah sudah berapa lama. Dia tidak pernah bosan menyentuh wanita kesayangannya, walau hanya jemarinya saja.
Mereka tidak melakukan hal lain pagi tadi, karena ... mengingat kondisi Berlian yang masih belum sepenuhnya pulih. Luka bekas jahitan operasi masih menyisakkan rasa nyeri, walau sudah melewati dua bulan.
"Aku mau mandi, Ge."
"Nanti aja. Aku masih mau peluk kamu." Geva enggan melepaskan tangannya dari tubuh Berlian. Di kembali mengeratkan rengkuhannya, mendekap Berlian seolah takut bila kehilangan wanita itu.
"Sekarang udah siang, Geva. Kita belum mandi dan sarapan."
"Kita nggak berkeringat, kamu juga masih harum. Sarapan ... sosisku aja gimana?" Cubitan pada putting Geva dilayangkan tanpa ampun oleh Berlian. Pria itu sampai menjerit meminta ampun, tapi Berlian tidak menyudahinya sampai dia merasa puas. "Ampun, Be! Astaga! Sakit!"
"Makanya jangan sembarangan kalau ngomong! Otak mesum!" Berlian melemparkan bantal ke wajah Geva. Kemudian wanita itu berguling ke tepi ranjang. Mengumpulkan tenaga dan kekuatan untuk bangkit.
"Aku kan, cuma nawarin sosis. Apa salahnya sih, Be? Minggu lalu, kan ... aku beli sosis." Geva mencari alasan. "Walau ... jauh lebih enak sosisku, sih."
"Mulai lagi!"
Tidak tanggung-tanggung. Sekarang Berlian membekap wajah Geva sampai kakinya menendang selimut dan tangannya berusaha menggapai tangan Berlian—menyingkirkan bantal dari wajahnya.
Dengan napas yang terengah-engah, Geva membolakan matanya setelah Berlian menyingkirkan bantal dari wajahnya. "Astaga! Kamu berniat membunuhku di hari kelahiranku, Be?"
"Kalau satu kali lagi kamu mengatakan 'sosisku', aku akan mengirimmu ke Neraka supaya kamu bisa reuni sama Arkan," ancam Berlian sambil berjalan ke kamar mandi. "Bangun sekarang! Atau bakalan aku goreng sosismu itu!"
Geva segera melompat turun dari ranjangnya. Dia menyusul Berlian ke kamar mandi. Selagi wanita itu sedang menggosok gigi, Geva melakukan rutinitasnya buang air kecil. Yang mana ... itu selalu membuat Berlian sebal.
"Jorok! Apa kamu nggak bisa nunggu aku sampai selesai gosok gigi? Ya ampun!" geram Berlian sambil melotot ke cermin dan Geva mencengir lebar di belakangnya.
"Ngomel-ngomel terus. Lama-lama kamu mirip sama tetanggamu yang tukang gosip itu, Be. Siapa nama ibu-ibu yang kalau lagi nge-gosip bibirnya itu bisa sampai meliuk-liuk dan matanya berputar-putar ke atas gitu?"
"Bu Nenden." Berlian berkumur, kemudian mencuci wajahnya menggunakan sabun cuci muka. "Pasti orang yang menyewa rumahku nggak tahan sama dia, makanya nggak lanjut menyewa."
Tentu saja. Siapa yang bisa tahan tinggal di lingkungan penggosip dan bertetanggan dengan orang seperti Bu Nenden dan teman-temannya?
Geva terkekeh, membuka botol mouthwash dan mulai berkumur. Berlian mengamati tubuh Geva melalui pantulan di cermin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Berlian || Liam Payne
Science Fiction18+ 》Follow sebelum membaca《 》Pilihlah bacaan yang sesuai《 》Jadilah pembaca yang bijak《 . . . Gevariel percaya cinta, tapi Berlian, tidak. Bagi Berlian, cinta hanyalah omong kosong yang tujuannya untuk mencari pasangan yang dapat memuaskan hasrat...