Terima Kasih, Jessie

31 2 0
                                    

"... mempersulit kehamilan."

Kalimat itu terus berputar di kepala Berlian setelah dia keluar dari Steels Care. Pandangannya benar-benar kosong sewaktu keluar dari dalam lift. Dia tenggelam dalam rasa khawatirnya sendiri.

"Berlian!" Yang dipanggil masih saja berjalan lemah, tidak mendengar maupun menyadari ada seseorang yang tengah berlari kecil menghampirinya. "Berlian." Tepukan ringan di bahu menyadarkan Berlian akhirnya.

Wanita itu terkesiap lalu mengelus dadanya. "Jessie?"

"Maaf. Aku nggak maksud bikin kamu kaget. Kamu kenapa?" tanya Jessie khawatir melihat wajah pucat Berlian dan pandangannya yang kosong.

"Nggak apa-apa," jawab Berlian singkat.Menyadari tangan Berlian gemetar, Jessie pun segera meraihnya. Dia tersenyum sewaktu Berlian kembali dibuat terkejut olehnya.

"Duduk, yuk! Sambil makan siang," ajak Jessie menuntun Berlian memasuki salah satu restoran jepang. "Kamu mau makan apa, Be?" tanyanya setelah mereka duduk di dekat jendela. Jessie membolak-balik buku menu.

Seorang pramusaji datang membawa tablet untuk mencatat pesanan. "Permisi. Mau pesan sekarang atau nanti?" tanya pramusaji pria dengan sangat ramah.

Jessie mengangkat wajahnya. Dia mendapati Berlian sedang melamun. "Be, kamu mau makan apa?" Sentuhan tangan Jessie membuat Berlian kembali terkesiap. "Sushi? Ramen? Atau bento?" Mendorong bukun menu ke hadapan Berlian.

"Uh, aku ...." Lama, Berlian membuat Jessie dan pramusaji menunggunya lanjut bicara. "Aku mau ocha hangat dan ramen kari ayam, deh." Akhirnya.

"Samain deh, tapi minumnya lemon tea dingin ya, Mas," ujar Jessie dan pramusaji yang mencatat pesanan pun mengangguk.

"Saya ulangi pesanannya, ya, Kak? Dua ramen kari ayam, satu ocha hangat dan satu lemom tea dingin?" Jessie mengangguk. "Baik. Ditunggu sekitar sepuluh sampai lima belas menit, ya, Kak. Permisi."

"Makasih, Mas."

Kembali memandang ke depan. Jessie kembali mendapati Berlian yang lagi-lagi melamun. "Be, kamu sakit?"

"Eng-nggak, Jess. Maaf, ya." Berlian berkedip beberapa kali kemudian memaksakan diri untuk tersenyum. "Kamu apa kabar?" tanyanya basa-basi.

"Baik. Kamu gimana? Terakhir kali aku ketemu Geva, katanya kamu sakit. Sakit apa?"

"Sakit ... biasa, tamu bulanan," kekeh Berlian sedikit kaku.

"Tapi sekarang udah membaik?"

"Udah, kok." Baru kali ini Berlian mengenal seseorang selain Geva yang sangat perhatian padanya. Dia merasa beruntung mengenal Jessie. "Kamu sendirian aja?"

"Iya, nih. Teman-temanku kuliah, tapi aku tadi kesiangan jadinya males, deh." Jessie mencengir lebar sembari menggaruk tengkuknya. "Udah janjian sama Arkan, sih. Mau nonton. Kamu mau ikut?"

"Aduh, masa aku ikut nonton bareng orang pacaran?" Berlian mengibaskan tangan dan Jessie tertawa kecil. "Itu Arkan!"

Jessie menoleh ke belakang, mengikuti arah jari telunjuk Berlian yang menunjuk sosok Arkan sedang menjepit ponsel diantara telinga dan bahunya. Tangannya sibuk mencari sesuatu di dalam saku celana.

"Arkan!" panggil Jessie dari dalam restoran. Dia sama sekali tidak peduli dengan para pengunjung yang terkejut karena suaranya. Dia melambaikan tangan dan Arkan menggeleng pelan, lalu masuk ke dalam restoran.

"Kok, kamu malah makan siang duluan, sih?" Arkan mengecup pipi Jessie, kemudian menarik kursi untuk duduk di samping kekasihnya. "Eh, ada Berlian? Apa kabar?"

"Baik."Lima belas menit berlalu, pesanan Berlian dan Jessie diantarkan oleh pramusaji pria yang tadi mencatat pesanan. "Silakan."

"Mas, saya mau soju, dong!" pinta Arkan pada sang pramusaji.

Satu pukulan kecil mendarat di kepala Arkan. "Nggak ada soju!" Jessie mendelik marah padanya. "Lemon tea dingin aja, Mas," tutur Jessie pada pramusaji yang langsung mengangguk mengerti dan berlalu pergi.

Berlian mengulum senyumnya sembari mengaduk-aduk ramen yang mengeluarkan aroma menggugah seleranya.

"Kamu mah begitu, Jess," keluh Arkan dengan bibir mencebik.

"Nggak usah sok ngambek. Drama!" ketus wanita di sebelahnya.

"Liat, nih, Be! Pacarku galak banget," adu Arkan pada Berlian.

"Makanya kalau nggak mau digalakin nggak usah macem-macem!" sungut Jessie, kemudian mencubit lengan Arkan.

"Sakit, Jess!" Dengan ekspresi gemas, Arkan mencium paksa pipi Jessie sampai membuat wanitanya memekik dan mengundang perhatian pengunjung lagi.

"Apa liat-liat?!" sungut Jessie pada salah satu pengunjung yang mencibirnya. "Kucolok matamu pakai sumpit, mau?" Dia mengangkat sumpit di tangan kanannya dan mengarahkannya ke orang itu.

"Jess, udah, ah!" desie Arkan di sampingnya. "Malu, Jess," tambahnya.

"Malu?" Jessie melotot pada Arkan. "Kalau malu pacaran sama aku, ya udah! Sana, cari yang lain." Menggeser kursi, Jessie memberi jarak pada kekasihnya.

"Ya, ampun! Yang datang bulan, kan, Berlian. Kenapa kamu yang sensitif begini?"Mendengar itu, Berlian pun tersedak kuah ramen yang tengah diseruputnya dengan nikmat.

"Kamu tau dari mana aku datang bulan?" Meninggikan sebelah alis matanya.

"Geva lah, siapa lagi?"

Berlian memejamkan mata. Dia menggeram pelan dan mengutuk Geva dalam hatinya. "Apa maksudnya sih, dia bilang ke teman-temannya masalahku datang bulan?" gerutunya dalam hati.

"Ngomong-ngomong, Geva ke mana ya? Nggak keliatan."

"London," sahut Jessie yang sebenarnya malas dan masih marah pada kekasihnya itu.

"Sama anjing penjagamu?" ketus Arkan. Dia mengunyah es batu yang diambil dari dalam gelas minuman Jessie.

"Siapa?" Kening Jessie berkerut.

"Lou-tung. Eh? Lou siapa ya?" Sengaja Arkan mengejek.

"Louis! Ih! Walaupun dia nyebelin, tapi dia baik sama aku. Jangan ngomong begitu!" Jessie mendengus kasar.

"Nyebelin mah tetap aja nyebelin. Ribet! Ngurusin orang terus kerjaannya."

"Dia emang dibayar sama kakak iparku untuk jagain aku, Ar. Udah, deh."

"Kan, ada aku, Jess."

"Tapi kakak iparku nggak kenal kamu. Bahkan nggak tau kalau aku pacaran sama kamu."

"Aneh kamu ih, kenapa sih emangnya kalau kakak iparmu itu tau?"

"Jangan mulai, ya, Ar," desis Jessie menahan emosinya yang mulai mendidih.

Tenggorokkan Berlian masih perih akibat tersedak tadi. Mendengar nama Louis membuat lehernya menjadi tercekat—mengingat pertemuan terakhirnya dengan pria itu di rumahnya.

"Lemon tea dinginnya, Kak." Pramusaji membawakan pesanan lemon tea untuk Arkan. Jessie mengambilnya dan menukar dengan minumannya yang sudah tinggal setengah.

"Ih, kenapa dituker?" keluh Arkan dengan wajah bingung.

"Kamu udah celupin jari ke dalam gelasku. Jorok! Jadi yang ini buatku." Jessie menyesap lemon tea dingin dari gelas yang baru. Arkan hanya mendesah dan memutar matanya malas.

"Kalian lucu banget, sih!" Akhirnya Berlian tidak tahan untuk tidak berkomentar setelah menjadi obat nyamuk selama setengah jam.

Kehadiran Jessie dan Arkan membuat Berlian melupakan ucapan Dokter Ezra untuk beberapa saat. Dia merasa sedikit lebih rileks dari sebelumnya.

"Jess, makasih, ya." Kalimat yang meluncur keluar itu membuat Jessie mengangkat wajahnya.

"Makasih buat apa, Be?" Berlian menggeleng cepat dan tersenyum. Sepertinya Jessie akan masuk daftar teman baik Berlian selanjutnya.

Friends With Berlian || Liam PayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang