16. Label

28.6K 1.7K 72
                                    

"Iya, Mas. Aku sampe pangling. Sering-sering aja pake pakaian kayak gini. Biar aku makin ...," Ima tidak melanjutkan ucapannya.

"Makin apa?" tanya Nick pensaran.

"Ada, deh. Udah sana ke masjid! Nanti ketinggalan shalatnya lho," usir Ima sambil tersenyum.

"Awas kamu, ya!" ancam Nick sambil mencubit hidung Ima. Kemudian ia pun pargi dari rumah.

"Apa iya aku lebih tampan jika menggunakan pakaian seperti ini?" gumam Nick. Ternyata ia sangat ge'er saat dipuji oleh istrinya tadi.

Namun, saat sudah berada di luar, Nick kebingungan. "Waduh, masjidnya di sebelah mana, ya?" gumam Nick.

Selama tinggal di komplek itu, Nick tidak pernah ke masjid sekali pun. Ia pun belum pernah melihat masjid di sana.

"Ya udah, aku coba cari aja, deh," gumam Nick. Akhirnya ia pun berjalan mencari masjid yang ada di komplek tersebut. Kebetulan masjidnya tidak berada di jalan utama. Sehingga cukup sulit ditemukan oleh pria itu.

Apalagi komplek clusternya merupakan cluster besar. Sehingga tidak mudah bagi Nick mencari masjid di tempat seluas itu.

Nick yang merasa lelah setelah berjalan itu melihat ada kursi di taman. "Lebih baik aku duduk di sana," gumam Nick. Ia kesal karena tidak menemukan masjidnya.

"Padahal tadi aku mendengar suara adzan. Tapi apa arahku salah, ya?" gumam Nick. Saat sedang berjalan tadi Nick mendengar ada suara adzan. Ia pun berjalan ke arah suara. Namun sepertinya Nick salah mengambil arah.

"Huuh! Ya sudah, sepertinya aku memang belum diizinkan untuk shalat. Lebih baik aku duduk di sini saja sambil menunggu waktu," gumam Nick. Akhirnya ia malah duduk di taman itu.

Nick menunggu sampai waktu shalat di masjid selesai. Setelah itu ia akan kembali ke rumahnya dan pura-pura pulang dari masjid.

"Hahaha, konyol sekali. Mafia sepertiku mau shalat, bahkan Tuhan saja tidak merestuinya." Nick menertawakan dirinya sendiri. Saat ini ia masih bisa santai, sebab ini baru awal dari pernikahannya.

"Tapi sepertinya aku harus meminta Joe untuk mencari masjid di dekat sini. Jangan sampai Ima tahu kalau aku tidak pergi ke masjid," gumam Nick.

Sepertinya ia lebih takut pada Ima dari pada Tuhan-nya.

"Eh, jangan Joe! Bisa-bisa dia menertawakanku jika tahu aku akan shalat," ucap Nick. Ia mengurungkan niatnya untuk minta tolong pada Joe. Akhirnya ia memutuskan untuk minta tolong ke penjaga rumahnya.

"Ima ... Ima ... apa yang telah kamu lakukan sampai aku seperti ini? Sial!" maki Nick. Ia kesal pada dirinya sendiri yang telah tergoda oleh Ima. Sampai-sampai kini ia lupa akan tujuan utamanya menikahi gadis itu.

"Sepertinya sudah selesai. Lebih baik aku pulang sekarang," gumam Nick. Ia pun beranjak dan pulang.

Padahal lokasi tempat Nick duduk sudah dekat dari masjid. Namun karena memang niatnya tidak dari hati, Nick pun malas mencari masjidnya lagi.

Nick pulang dengan pura-pura baru saja selesai shalat di masjid.

"Assalamu alaikum," ucap Nick saat memasuki rumahnya.

"Waalaikum salam," sahut Ima. Ia senang karena suaminya sudah pulang. Ima pun menyambutnya. "Kok baru pulang, Mas?" tanya Ima. Tadi Nick keluar dari rumah selama setengah jam. Padahal waktu shalat biasanya paling lama 10 menit.

"I-iya, tadi dzikir dulu," jawab Nick, kikuk. 'Aku gak salah jawab, kan?' batin Nick. Sebenarnya ia takut jawabannya tidak tepat.

"MasyaAllah, ternyata suamiku selain tampat, soleh juga, ya? Aku beruntung banget punya suami seperti Mas," ucap Ima. Kemudian memeluk suaminya.

Bibi yang mendengarnya pun terkekeh. "Hihihi, apa iya Tuan bisa dzikir? Rasanya bacaan shalat pun belum tentu bisa," gumam Bibi, pelan.

Nick yang melihat Bibi terkekeh dari kejauhan itu memelototinya. Bibi pun langsung kabur karena takut Nick marah.

'Apa iya aku harus belajar agama? Ah, malas sekali. Aku kan banyak kerjaan. Tapi, bagaimana jika nanti dia mengetestku lagi seperti waktu itu?' batin Nick.

Ia ingat betul bagaimana dirinya harus berjuang menghafal surat ar-rahman. Agar bisa menikahi Ima.

"Ya udah, sekarang kita makan yuk, Mas!" ajak Ima.

"Iya, Sayang. Mas mau naruh ini dulu," jawab Nick.

"Sini biar aku aja yang simpan!" sahut Ima. Ia mengambil sajadah yang ada di tangan Nick, kemudian hendak menaruhnya di kamar.

Namun, saat Ima baru melangkah, ia melihat ada label di sajadah itu. "Lho, ini kok masih ada labelnya, Mas?" tanya Ima.

Nick yang memang tidak menggunakan sajadah itu pun tidak tahu bahwa itu masih berlabel, seperti baru.

"Hah, masa?" tanya Nick. Ia langsung kelabakan, memutar otak agar bisa memberikan alasan yang masuk akal.

"Ini lho," ucap Ima lagi sambil menunjukkan label-nya.

"Oh iya, ya. Aku tadi gak lihat. Mungkin karena posisinya ada di bawah, jadi gak kelihatan pas shalat. Lagian kan aku shalatnya khusuk, jadi gak merhatiin yang lain," jelas Nick, gugup.

"Iya juga, ya? Tapi emangnya ini sajadah baru, Mas?" tanya Ima, lagi.

"Heuh?" sahut Nick panik. "E-enggak, kok. Itu udah sering aku pakai. Cuma si Bibi mungkin pas nyucinya gak ngeuh, jadi labelnya gak dilepas," ucap Nick, salah tingkah.

Ima terlihat bingung mengapa bisa label seperti itu tidak terlihat.

"L-lagi pula kan itu bahannya anti air, Sayang. Jadi gak akan hancur meski dicuci," jelas Nick lagi. Ia tidak ingin Ima curiga padanya.

"Iya juga, ya. Berarti ini labelnya bagus. Soalnya biasanya meski gak hancur, minimal kusut atau tulisannya luntur," ucap Ima.

Ima sendiri bukan orang yang suka suudzon atau curiga. Namun Nick merasa tersindir. 'Apa dia curiga?' batinnya.

"Iya," ucap Nick sambil tersenyum kikuk.

"Ya udah aku simpan ini, Mas ke meja makan aja duluan!" ucap Ima. Ia pun pergi ke kamar.

Nick menghampiri Bibi saat Ima sudah tidak ada. "Bibi gimana, sih? Kenapa labelnya gak dilepas dulu tadi?" Ia protes.

"Maaf, Tuan. Bibi juga gak ngeuh. Tapi memangnya tadi Tuan gak pakai sajadah itu, ya? Kok bisa gak tau masih ada labelnya? Atau Tuan memang tidak shalat?" skak Bibi.

Ustadzah Dinikahi Mafia TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang