24. Camburu

31.3K 1.5K 13
                                    

"Kerja sama?" tanya Ima. Secara tidak langsung, ia meminta penjelasan dari Alvin.

"Jadi rencananya aku akan memberikan sumbangan rutin ke beberapa masjid. Namun sumbangan itu berbentuk mukena dan scraft untuk ibu-ibu pengajian. Tapi, kalau bisa aku mau pakai design custom," jelas Alvin.

Mendengar hal itu, tentu Ima senang. Apalagi ia tahu bahwa Alvin adalah sepupu Nick. Sehingga Ima yakin suaminya itu tidak akan keberatan.

"Ooh, insyaaAllah aku bisa. Nanti tinggal dijelaskan saja mau custom seperti apa. Biar aku usahakan. Semoga patern-nya tidak terlalu sulit," jawab Ima.

"Untuk patern-nya, mungkin nanti kita perlu discuss juga. Soalanya aku kurang paham mengenai hal itu. Yang pasti aku mau yang terbaik meski ini untuk sumbangan," jelas Alvin.

Ima manggut-manggut. "Oke, diusahakan," jawabnya. Sejak tadi ia tidak menatap Alvin. Hal itu membuat Alvin semakin penasaran padanya.

'Kenapa sih dia sangat menjaga pandangannya? Apa hanya dengan menatap ke arahku saja dosa?' batin Alvin.

Ia cemburu karena Nick bisa jadi suami Ima. Dengan begitu, sudah pasti Nick bisa ditatap dan menatap wanita itu sepuasnya.

"Ada lagi?" tanya Ima, sambil pura-pura mencatat. Secara tidak langsung Ima menyindir Alvin agar pergi dari tempat itu.

"Oh oke. Sepertinya sudah cukup. Kalau begitu aku pamit. Sampai ketemu di lain waktu untuk membahas patern," jawab Alvin. Dengan berat hati ia pun harus pergi dari tempat itu. Sebab Alvin tidak ingin Ima risih dan semakin menghindarinya.

"Siap!" jawab Ima, singkat. Ia pun berdiri untuk menghargai Alvin.

Setelah itu Alvin pamit dan pergi meninggalkan ruangan Ima.

Ima tidak mengantar Alvin. Bukan tidak menghargainya, tetapi baginya Alvin hanyalah pelanggan yang bisa keluar masuk tokonya tanpa perlu diantar.

'Apa aku harus membatasi pengunjung toko ini, ya? Tapi bagaimana jika ada lelaki yang ingin membeli pakaian muslim untuk istri atau ibunya?' batin Ima.

Sejujurnya Ima merasa risih karena Alvin masuk ke tokonya. Namun, sebagai pemilik toko, Ima harus melayaninya dengan baik. Hal itu membuat Ima dilema karena ia tidak ingin ada lelaki hilir mudik di sana.

Mungkin dulu ia belum menyadari hal itu. Sebab, selain di toko itu banyak staf, ia juga belum memiliki suami. Namun, kini Ima telah bersuami. Sehingga ia merasa harus semakin menjaga jarak dengan lelaki mana pun.

"Ya sudahlah, lagi pula yang nemuin aku kayak gitu kan cuma dia. Yang lain paling cuma belanja aja. Toh dia saudara Mas Nick. Gak mungkin kan suamiku cemburu sama saudaranya sendiri?" gumam Ima.

Ia tidak sadar bahwa justru tujuan Nick menikahinya adalah untuk mengalahkan Alvin. Sayangnya kini justru Nick yang terjebak oleh permainannya sendiri.

Selesai mengecek semua laporan, Ima pun pamit pada stafnya. "Aku pulang dulu, ya. Nanti kalau ada apa-apa, hubungi aku aja! Dan lain kali kalau ada lelaki nyari aku, tolak secara halus," pinta Ima.

"Baik, Ustadzah. Kami mohon maaf jika sudah membuat Ustadzah tidak nyaman," jawab staf Ima.

"Iya tidak apa-apa. Ya sudah aku pergi dulu. Assalamu alaikum," ucap Ima.

"Waalaikum salam."

Ima pun meninggalkan toko tersebut.

Kebetulan toko milik Ima berada di dalam mall besar. Sehingga siapa saja bisa keluar masuk di sana. Sebab tokonya tidak memiliki pintu. Seperti toko-toko di mall pada umumnya.

Dari tempat itu, Ima pergi menuju pondok. Hari ini ia ada jadwal mengajar. Namun Ima yang memang memiliki mobilitas tinggi itu, jadwal mengajarnya tidak terlalu padat.

Saat Ima sedang menyetir, ada telepon masuk dari suaminya.

Kring-kring!

Melihat ada panggilan dari suaminya, Ima pun menjawab telepon, menggunakan speaker yang ada di mobil. Sehingga ia tidak perlu memegang ponselnya.

"Assalamu alaikum, Mas," ucap Ima.

"Waalaikum salam. Kamu lagi di mana?" tanya Nick.

"Lagi di jalan mau ke pondok. Ada apa, Mas?"

"Gak apa-apa, cuma mau mastiin aja kamu sampai lokasi dengan selamat," ucap Nick.

Sebenarnya ia merindukan Ima. Sehingga tidak bisa konsentrasi bekerja. Oleh karena itu Nick berinisiatif untuk menghubunginya.

"Alhamdulillah, Mas. Terima kasih ya atas perhatiannya." Ima senang karena mendapat perhatian dari suaminya itu.

"Iya, sayang. Oh iya, nanti kamu mau makan siang di mana?" tanya Nick.

"Mungkin di kantin pondok aja, Mas. Kenapa?" Ima balik bertanya.

"Hem ... gimana kalau kita makan bareng?" ajak Nick.

"Boleh! Mau makan di mana?" Ima antusias menyambut ajakan suaminya itu.

"Kamu bawa mobil sih, ya? Kalau gak bawa mobil, biar aku jemput."

"Iya, Mas. Kan repot kalau aku gak bawa mobil."

"Ya udah kalau begitu nanti aku share lokasinya, ya?"

"Oke, sip! Oh iya, tadi sepupu kamu datang ke toko," ucap Ima. Ia merasa perlu menceritakan apa yang telah ia lalui pada suaminya.

Deg!

"S-siapa?" tanya Nick. Hatinya langsung gelisah.

"Itu lho, Mas Alvin," sahut Ima tanpa dosa.

Hati Nick panas mendengarnya. "Mau apa dia ke sana?" tanya Nick lagi. Ia masih ingat betul bahwa Alvin menyukai Ima. Sehingga Nick khawatir Alvin akan merebut Ima dari pelukannya.

"Katanya sih mau ngajak kerja sama gitu. Nanti deh aku jelasin kalau ketemu. Ini aku udah mau sampe pondok. Udah dulu ya, Mas?" Ima menggantung penjelasan. Sehingga membuat Nick semakin penasaran.

"Oh, ya sudah, sampai ketemu nanti," sahut Nick.

"Oke, assalamu alaikum."

"Waalaikum salam."

Telepon terputus.

"Sial! Mau apa dia ngajak kerja sama istriku? Pasti itu hanya modusnya saja," geram Nick. Tangannya mengepal erat. Matanya pun menatap tajam ke arah sembarangan.

Nick yang telah merebut Ima dari incaran Alvin itu jadi was-was. Sebab ia khawatir Alvin akan melakukan hal yang sama dengannya.

Sementara itu, Ima yang sedang berjalan di koridor pondok itu berpapasan dengan Adam.

"Assalamu alaikum, Ustadzah. Apa kabar?" sapa Adam.

"Waalaikum salam. Alhamdulillah, baik. Sudah selesai mengajar?" Ima balik bertanya.

Selama ini hubungannya dengan Adam cukup baik. Sesama pengajar, bisa dikatakan mereka cukup akrab.

"Alhamdulillah ini baru selesai di kelas X, mau ke kelas XI," jawab Adam.

"Ya sudah kalau begitu. Saya duluan, ya. Assalamu alaikum."

"Waalaikum salam."

Saat Ima sudah berlalu, Adam menoleh ke arahnya. 'Ampuni hamba Ya Allah ... hamba tahu ini salah. Namun hati ini sungguh sulit untuk dikendalikan,' batin Adam.

Sampai saat ini ia masih belum bisa menghapus perasaannya untuk Ima. Sehingga Adam masih berharap bisa mendapatkan Ima, suatu hari nanti. Hal itulah yang membuatnya merasa berdosa.

Di tempat lain, Nick telah memanggil asistennya.

"Joe, tolong kamu cari tahu tentang Alvin!" pinta Nick, serius.

Ustadzah Dinikahi Mafia TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang