92. Sudah Bertaubat

14.4K 1K 23
                                    

Nick sangat terkejut mendengar berita itu. Namun ia tidak ingin menunjukkannya di hadapan Ima. Ia khawatir Ima akan shock mendengarnya.

"Oke, nanti aku hubungi lagi," ucap Nick. Kemudian ia memutus sambungan teleponnya.

"Ada apa, Mas?" tanya Ima.

"Biasa, masalah kerjaan. Ada yang urgent lagi," jawab Nick.

"Penting banget, ya? Kalau penting gak apa-apa, Mas. Kelonannya kan bisa nanti malem," ucap Ima.

Nick terlihat berpikir. Sebenarnya ia pun sangat penasaran bagaimana Amber bisa terbunuh.

"Beneran gak apa-apa aku tinggal?" tanya Nick, ragu. Padahal ia masih sangat rindu pada istrinya itu.

"Iya, Sayang. Kita kan bisa ketemu kapan aja. Kalau pekerjaan gak bisa ditunda. Ya udah kamu hati-hati, sana! Semangat kerjanya, ya!" ujar Ima, berusaha menyemangati suaminya.

"Terima kasih, Sayang. Kalau begitu aku pergi dulu. Aku janji gak akan pulang malam," ucap Nick. Ia mengecup istrinya, kemudian meninggalkan rumah itu.

Ima mengerutkan keningnya. "Kenapa Amber bisa tewas?" gumamnya. Ternyata ia mendengar suara Joe di telepon tadi. Namun Ima sengaja pura-pura tidak tahu. Ia ingin Nick cerita sendiri padanya.

Sementara itu, Nick yang baru keluar dari gerbang rumahnya itu langsung menghubungi Joe.

Telepon terhubung.

"Assalamualaikum, Joe! Bagaimana dia bisa tewas?" tanya Nick, serius.

"Sepertinya dia dibunuh, Bos. Beberapa hari ini dia bersembunyi. Dan ketika aku hendak menangkapnya, kami menemukan dia sudah tidak bernyawa. Kondisinya dibuat seperti bunuh diri. Tapi aku yakin ini hanya manipulasi," jelas Joe.

"Apa kamu bisa menebak siapa orangnya?" tanya Nick.

"Siapa lagi kalau bukan Freddie, Bos? Selama ini kan Amber memang dekat dengan pria itu. Apalagi kemarin mereka sempat bekerja sama untuk mengganggu Nyonya Ima," ucap Joe.

"Sialan! Tapi bagus. Setidaknya aku tidak perlu mengotori tanganku untuk membunuh wanita itu. Dia memang pantas mati," ucap Nick. Namun kemudian ia beristighfar.

"Astaghfirullah," ucap Nick. Ia lupa bahwa dirinya sudah bertaubat. Sehingga Nick merasa bersalah ketika senang saat mengetahui ada seseorang yang meninggal.

"Ya sudah, segera laporkan ke polisi. Setelah itu kalian harus menjauh dari sana dan jangan tinggalkan jejak sedikit pun!" ucap Nick. Ia tidak ingin anak buahnya terseret dalam kasus pembunuhan Amber.

"Siap, Bos!" jawab Joe.

"Tapi kita harus tetap waspada! Jangan sampai tua bangka itu mengganggu kita lagi!" pinta Nick.

"Baik, Bos!" jawab Joe.

Telepon terputus.

"Ternyata dia masih dendam padaku. Dasar manusia licik!" geram Nick.

Dulu Freddie pernah kalah saing saat Nick masih menjadi mafia. Hal itulah yang membuat Freddie dendam pada pria tersebut. Sehingga ia selalu berusaha untuk menjatuhkan Nick agar bisa membalas dendamnya.

Saat ini Nick belum mau membalas Freddie karena ia sedang sibuk dengan urusan pekerjaannya. Menghandle perusahaan besar yang memiliki banyak anak perusahaan dan beberapa grup sudah cukup menyita waktu.

Nick tidak ingin mengorbankan kepentingan utamanya hanya untuk mengurus pria itu. "Tapi kalau sampai dia berani menggangguku sekali lagi. Aku tidak akan melepaskannya," geram Nick.

Freddie sendiri membunuh Amber karena ia takut wanita itu buka mulut. Ia tak tahu bahwa Nick sudah mengetahui semuanya. Freddie memang senang mengganggu, tetapi bisa dikatakan bahwa dirinya pengecut karena tidak berani menghadapi Nick secara langsung.

Beberapa saat kemudian Nick tiba di kantor. Joe pun langsung menghadap padanya.

"Ini foto-fotonya, Bos!" ucap Joe. Ia menyerahkan foto Amber yang sudah tewas itu pada Nick.

"Dasar iblis. Bisa-bisanya dia membunuh wanita seperti itu," gumam Nick, sambil melihat foto-foto Amber.

"Tapi kalian tidak meninggalkan jejak, kan?" tanya Nick.

"Aman, Bos! Kami pun sudah melapor polisi dan saat ini polisi sudah ke TKP. Tapi kemungkinan kematiannya akan dianggap sebagai bunuh diri. Sebab posisi korban sedang memegang pistol di dekat kepalanya," tutur Joe.

"Biarkan saja! Cepat atau lambat dia pasti akan terkena senjatanya sendiri. Aku tidak akan melepaskannya jika sampai mendapat kesempatan untuk menghancurkannya," gumem Nick. Lagi-lagi ia lupa bahwa dirinya tidak boleh balas dendam.

Namun, bagaimana pun sifat seseorang tidak mudah berubah begitu saja. Nick yang notabene mantan mafia tentu tidak akan diam saja ketika diusik oleh orang lain.

Sore hari Nick pulang seperti janjinya pada Ima. Sudah lama berpisah, sehingga Nick tidak ingin pulang telat.

Saat berada di jalan, ia menghubungi mamihnya untuk menanyakan kabar papihnya.

"Alhamdulillah kalau Papih sudah sadar. Semoga Papih bisa pulih seperti sediakala," ucap Nick saat mendapatkan info bahwa papihnya sudah sadar.

"Iya, Nick. Doakan saja yang terbaik untuk papih kamu. Semoga kami bisa segera pulang ke Indonesia," ujar Rose di seberang telepon.

"Pasti, Mih! Mamih dan Papih jangan memikirkan masalah perusahaan dulu. Serahkan saja padaku. InsyaaAllah aku bisa menghandle-nya," ucap Nick.

Ia tak ingin kesehatan orang tuanya terganggu karena memikirkan nasib perusahaan. Meski berat, Nick akan berusaha semaksimal mungkin. Namun konsekuensinya waktu kebersamaannya dengan Ima akan berkurang.

"Terima kasih, Nick. Mamih percaya kamu pasti bisa."

Telepon terputus.

Setibanya di rumah, Nick disambut oleh istri tercinta.

"Assalamualaikum, Sayang," ucap Nick. Ia langsung mengecup dan memeluk istrinya. Seolah sudah lama tidak bertemu.

"Waalaikumsalam. Gimana kerjaannya?" tanya Ima.

"Alhamdulillah lancar. Tapi besok pagi sudah ada meeting lagi. Aku jadi merasa bersalah karena waktu untukmu berkurang," jawab Nick dengan tampang memelas.

Mereka berjalan ke arah ruang tengah. Setelah itu duduk di sofa ruangan tersebut.

"Sabar ya, Mas! Setiap hidup pasti butuh perjuangan. Alhamdulillah meski seperti ini kita masih berkecukupan. Di luar sana bahkan banyak orang yang menghabiskan banyak waktu tetapi penghasilannya masih kurang," ujar Ima.

"Iya, Sayang. Alhamdulillah aku punya istri yang tidak pernah lupa untuk mengingatkan aku bagaimana caranya bersyukur," ucap Nick.

Ia senang istrinya tidak pernah mengeluh. Dalam kondisi apa pun, Ima selalu mensyukurinya. Ima hanya akan mengeluh jika suaminya menyakitinya seperti tempo hari.

"Nikmat mana yang bisa aku dustakan? Punya istri solehah dan selalu mendukung suaminya seperti kamu. Aku sangat beruntung," ucap Nick sambil memeluk Ima.

Ima tersenyum. Ia paling senang jika melihat Nick manja seperti itu. Apalagi ketika Nick sedang mengusap-usap perutnya.

"Assalamualaikum anak Papi. Kamu tau? Kamu juga sangat beruntung seperti aku. Sebab kamu bisa lahir dari rahim wanita solehah seperti mami kamu," ucap Nick pada janin yang ada di perut Ima.

"Udah dong, Mas! Nanti aku bisa terbang kalau dipuji terus," ucap Ima, malu.

"Aku bukan cuma muji. Aku hanya mengatakan fakta. Entah bagaimana lagi cara mengungkapkan kebahagiaanku bisa memiliki kamu. Tapi yang pasti sekarang aku mau jengukin anak kita. Kan udah lama dia gak aku jenguk," ucap Nick nakal.

Nick pun menggendong Ima ke kamarnya.

"Kirain lupa," ledek Ima.

"Mana mungkin aku lupa? Dari siang pun aku sudah menginginkannya. Tapi tadi ada kerjaan penting. Jadi aku terpaksa menundanya," ucap Nick.

Beberapa jam kemudian Nick sudah selesai menjenguk anaknya. Ia terlihat ragu, tetapi Nick tetap berusaha mengatakan apa yang ingin ia katakan.

"Ada apa, Mas?" tanya Ima, penasaran. Ia dapat melihat keraguan di wajah suaminya itu.

Ustadzah Dinikahi Mafia TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang