15. Shalat di Masjid

30.6K 1.7K 66
                                    

Nick gelagapan saat ditanya seperti itu oleh istrinya. "Gak perlu, paling telepon gak penting," jawab Nick, gugup.

"Kok Mas bisa tau itu gak penting? Kan gak kelihatan siapa yang telepon," tanya Ima lagi. Ia sedikit heran melihat sikap suaminya itu.

"I-iya, soalnya dari tadi neleponin terus. Makanya aku gak angkat," jawab Nick. Jantungnya berdebar cepat, ia khawatir Ima akan mengetahui bahwa yang menghubunginya adalah Amber.

"Ya udah, biar aku aja yang angkat ya, Mas?" tanya Ima. Tangannya hendak mengambil ponsel Nick.

"JANGAN, SAYANG!" pekik Nick. Ia sangat terkejut melihat Ima hampir menjawab panggilan tersebut.

Ima yang hampir menyentuh ponsel suaminya pun menghentikan gerakkannya. "Eh, maaf. Gak sopan, ya?" Ima jadi tidak enak hati karena hampir menyentuh barang pribadi suaminya. Sebab pernikahan mereka baru satu hari. Rasanya tidak sopan jika ia berani menyentuh benda tersebut.

"Bukan begitu, aku cuma gak mau kamu kesal aja. Itu cuma mau nawarin karti kredit," ucap Nick. Ia lega karena Ima tidak menjawabnya.

'Huuh! Hampir saja,' batin Nick.

"Ooh, ya udah. Aku ke sini cuma mau nanya. Mas itu sukanya makan apa, sih?" tanya Ima.

Nick senang karena pembicaraan mereka teralihkan. "Hem ... aku sukanya makan kamu," ucap Nick, bercanda.

"Iiih, Mas ini. Aku serius, lho," keluh Ima, manja.

'Aku juga serius. Milikmu sangat hangat, jadi aku ketagihan. Beda dengan milik Amber. Tidak ada kehangatan sama sekali,' batin Nick sambil menatap Ima. Ia tidak sadar telah membandingkan Ima dengan Amber.

"Mas!" tegur Ima.

"Oh iya. Hem ... aku akan makan apa pun yang kamu masak. Asal jangan ada racunnya," jawab Nick.

Ima menyipitkan matanya. "Bener, nih?" tanyanya, tidak yakin.

"Iya ... aku pingin tahu, istriku ini jago masak apa enggak. Makanya apa pun yang kamu masak, aku mau makan," jawab Nick, menggombal.

"Ya udah, aku masak yang simple aja, ya? Udah mau maghrib soalnya," ucap Ima.

"Oke!" sahut Nick.

Ima pun meninggalkan ruangan suaminya itu.

"Huuh! Syukurlah dia tidak curiga," gumam Nick. "Sepertinya aku harus memiliki ponsel baru. Supaya Amber tidak bisa menggangguku ketika sedang di rumah," ucap Nick.

Sampai saat ini Nick belum berniat untuk melepaskan Amber. Sebab, bagaimana pun hubungan mereka sudah cukup lama. Nick sendiri belum yakin akan perasaannya terhadap Ima. Sehingga ia masih bimbang untuk memilih.

Namun, sebenarnya hati Nick sudah mulai berpaling. Ia malas bertemu dengan Amber. Setelah bercinta dengan Ima, yang ada di otak Nick hanyalah istrinya tersebut. Ia selalu ingin berada di dekatnya dan bahagia jika sedang bersama Ima.

Ima asik memasak sambil dibantu oleh Bibi yang sudah selesai menyuci sprei.

"Biar saya aja yang masak, Nyonya," ucap Bibi.

"Udah gak apa-apa, By. Biar saya aja!" sahut Ima. "Mas Nick kan suami saya. Masa mau dikasih masakan Bibi terus. Nanti kalau lagi jauh, yang ada ingetnya sama Bibi, bukan sama saya," lanjut Ima.

"Hehehe, Nyonya bisa aja," sahut Bibi. "Ya sudah kalau begitu biar Bibi bantu aja, ya?" tanya Bibi.

"Dengan senang hati, Bi," sahut Ima. Dibantu oleh Bibi, pekerjaan Ima pun jadi lebih cepat.

Saat Nick keluar dari ruang kerja, ia menghirup aroma harum masakan. "Hem ... harum apa ini?" gumamnya. Kemudian ia mencari sumber aroma itu.

Nick tersenyum melihat Ima serius memasak. Kemudian ia menghampirinya dan memeluknya dari belakang.

"Lagi masak apa, Sayang?" tanya Nick.

"Eh, Mas udah selesai kerjanya?" Ima balik bertanya.

"Udah, nanti malam dilanjut lagi," sahut Nick.

Melihat kemesraan mereka, Bibi pun malu. Ia memilih untuk pergi dari dapur dan membiarkan mereka bermesraan di sana. 'Alhamdulillah, semoga Tuan selalu menyayangi Nyonya seperi itu. Sebab aku yakin Nyonya adalah wanita yang baik,' batinnya.

"Ya udah, Mas mau shalat maghrib di rumah atau di masjid?" tanya Ima.

'Waduh, emang Tuan bisa shalat?' batin Bibi yang mendengar pertanyaan itu.

'Aku harus jawab apa, ya? Kalau sahalat di rumah terus dia minta aku jadi imam, bisa mati aku,' batin Nick.

"Shalat di masjid, Sayang. Makanya aku break dulu kerjanya," jawab Nick.

"Oooh, iya. Ya udah sana siap-siap dulu!" ucap Ima. Ia senang karena suaminya shalat di masjid.

"Oke," sahut Nick. Kemudian ia mengecup kepala Ima dan meninggalkan dapur.

"Waduh, gimana ini? Aku kan gak punya alat shalat," gumam Nick. Ia jadi bingung, sebab dirinya memang tidak pernah shalat. Kecuali jika dipaksa oleh orang tuanya.

Beruntung Nick masih memiliki beberapa baju koko. Itu pun baju pemberian maminya. Namun ia tidak memiliki sarung, peci, dan sajadah. Sehingga Nick bingung, khawatir nanti Ima menyadari hal itu.

Saat Nick sedang di kamar, Bibi menghampirinya.

Tuk, tuk, tuk!

Nick yang sedang mengubek-ubek lemari pun menoleh ke arah pintu kamar dan membukanya.

Ceklek!

"Ada apa, Bi?" tanyanya.

"Maaf Tuan. Sepertinya Tuan butuh ini," ucap Bibi sambil memberikan beberapa sajadah pada Nick.

Sajadah itu merupakan pemberian Rose. Sebenarnya Rose memberikan pada Nick. Namun berhubung Nick tidak menggunakannya, jadi ia berikan ke Bibi.

Nick pun senang. "Syukurlah, terima kasih ya, Bi," ucap Nick. Ia lega karena Bibi masih menyimpan sajadah tersebut.

"Sama-sama, Tuan. Kalau saya tidak salah, di laci lemari Tuan ada peci yang masih baru, dari Nyonya besar," ucap Bibi lagi.

"Ah iya. Ya sudah kalau begitu," sahut Nick. Ia bersemangat karena saat ini sudah memiliki barang yang ia butuhkan. Setidaknya Ima tidak akan bingung karena suaminya tak memiliki sajadah lagi.

Bibi tersenyum melihat Nick antusias. "Alhamdulillah, semoga kehadiran Nyonya bisa membawa hidayah bagi Tuan," ucap Bibi.

Ia sengaja menyimpan sajadah itu untuk Nick. Sebab ia yakin suatu saat Rose pasti akan menanyakannya. Bibi pun menolong Nick agar rumah tangganya tetap utuh. Sehingga ia berinisiatif seperti itu.

Sebab, jika sampai Nick dan Ima bertengkar, ia pasti akan turut bersedih.

Dengan bangga Nick mengenakan baju koko dan celana panjang. Kemudian ia mengambil peci lalu membawa sajadah. "Nah, ini baru meyakinkan," gumam Nick sambil bercermin.

Setelah itu, Nick keluar kamar dan hendak pamit pada istrinya. "Sayang, aku ke masjid dulu, ya," ucap Nick.

Ima pun menoleh. "MasyaaAllah ... suamiku tampan sekali," puji Ima saat melihat Nick berpenampilan seperti itu.

Nick sangat bangga karena dipuji oleh istrinya. "Oya?" tanyanya.

Ustadzah Dinikahi Mafia TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang