My Ex-1

52.2K 827 4
                                    

Usia 22 tahun, belum mempunyai pasangan, tidak memiliki pekerjaan, dan tidak good looking. Deskripsi yang sangat menyakitkan itu mewakili seorang gadis bernama Tika. Kenyataan membuat gadis itu tenggelam dalam jurang kesedihan.

"Cari kerja sana! Masa cuman di rumah terus!"

"Udah bukan anak kecil lagi, bahkan udah bisa bikin anak kecil, kok suka benget ngurung diri di rumah!"

"Enggak mau sama tetangga yang sukses, udah mau nikah lagi!"
U
Kalimat itu adalah makanan pokok Tika setiap hari. Saat dia sedang berada di luar rumah, entah pergi ke warung atau sekedar beli pulsa. Makanya kalau disuruh ke warung, sebisa mungkin tidak ada keramaian di jalan atau dia akan menjadi bahan gunjingan sepanjang jalan.

Ya, dia menganggur bukan berarti gadis itu tidak pernah bekerja. Nyatanya diusia 22 dia sudah memiliki pengalaman sebagai pelayan, penjahit, sampai menjadi pengasuh juga sudah pernah dilakoni. Menganggur beberapa bulan tapi orang-orang tanpa akhlak itu memperlakukannya seakan tidak pernah mencari uang.

Hanya satu yang patut disyukuri, ibu dan ayahnya tidak pernah secara terang-terangan menyuruh untuk bekerja. Meski Tika pernah tidak sengaja mendengar keluhan sang ayah karena dirinya menganggur.

"Bu, Tika mau kerja!"

Wajah ibu tampak terkejut. Anak bungsunya akan keluar dari zona nyaman.

"Alhamdulillah, di mana? Kerja jadi apa?"

"Jadi tukang bersih-bersih." Dengan ijazah SMA di zaman sekarang mencari pekerjaan tidaklah mudah.

Ibu mengangguk. "Di mana?"

"Di Jakarta."

***

Hari keberangkatan Tika telah datang, gadis itu sudah memesan tiket salah satu bus yang cukup terkenal di bidang transportasi. Untuk pertama kalinya dia kan ke ibukota, sendirian. 'Sok berani!' ejek Tika untuk dirinya sendiri.

Ibu terlihat cemas, beberapa kali wanita paruh baya itu menyuruh Tika untuk mengurungkan niatnya.

"Hati-hati ya."
Tika mengangguk. Ini bukan tentang cibiran pada tetangga tapi lebih ke pada menghargai dirinya sendiri.

Menempuh perjalanan hampir dua belas jam, akhirnya Tika sampai di ibukota yang sangat panas. Seluruh pori-pori kulit gadis itu mengeluarkan keringat akibat panasnya cuaca.

"Kalau di desa, jam segini masih enak buat tidur." Tika menggendong ransel besarnya. Tangan kanan gadis itu memegang ponsel sebagai petunjuk menuju gedung yang akan menjadi tempat kerjanya.

Tidak ada kenalan di ibukota bukan berarti Tika akan linglung dan bingung. Gadis itu sudah mempersiapkan semua dengan matang. Bahkan mencari kos terdekat dari tempat kerjanya, walau belum pasti diterima bekerja.

Tika melihat lampu penyebrangan berwarna hijau, gadis itu kembali melangkah.

"Awas!"

Brak!
Telinga Tika berdengung seiring kesadaran gadis itu yang menghilang. Terakhir teriakan dari orang di sekitarnya yang Tika dengar.

Sial sekali, datang jauh-jauh ke wilayah asing, Tika langsung disambut oleh ciuman keras kendaraan beroda empat.

"Sial!" lirih Tika sebelum benar-benar tidak sadarkan diri.

***

Perlahan mata Tika terbuka. Hal pertama yang dilihat adalah langit-langit ruangan berwarna putih. Alat bantu pernapasan membuat Tika teringat kejadian yang menimpanya, persis setelah gadis itu keluar dari terminal.

Seluruh badan terasa sakit, apalagi area kepala. Air mata Tika mengalir mengingat nasibnya yang sangat luar biasa. Jangan bilang pengemudi mobil yang menabraknya tidak bertanggung jawab, lalu siapa yang akan membayar biaya pengobatan ini?

Short Story: Our WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang