Be Your Wife~2

6.7K 402 11
                                    

Pembaca elit, vote syulit!
Chuaks!

~

"Gue Istri lu Gus Farhan, kalau lu lupa!"

Anindya berkacak pinggang. Gadis itu mengurut pangkal hidungnya, rasa pening mulai menjalar. Kenapa dia harus menikah dengan lelaki seperti ini?

"Anindya, aku mohon jangan campuri urusan aku. Kita menikah karena dijodohkan, jadi beri aku waktu untuk menyesuaikan semua." Farhan berusaha menekan kesabaran. Dia takut keributannya bisa didengar oleh kedua orang tua.

"Lu pikir gue juga enggak menyesuaikan diri? Terus gue kayak lu gitu? Belum bisa move on dari masa lalu? Lu paham agama, kan? Ya harusnya lu bisa menempatkan diri dong! Kita memang enggak saling cinta tapi tolonglah hargai gue! Kalau ada orang lihat tuh wallpaper hape lu, apa enggak mikir macem-macem tuh orang?" Panjang kali lebar kali tinggi. Terserahlah, Anindya sudah puas mengatakan semua itu.

Niat hati ingin mencoba membuka hati karena pria ini tampan, rupawan, eh ternyata itu hanya casing saja.

"Oke, aku minta maaf. Tapi beri aku waktu."

Asyem!

***

"Anin, bangun!"

"Hem." Anindya hanya bergumam. Gadis itu justru mengeratkan pelukannya pada guling empuk yang semalam juga menjadi pelampiasan kekesalan.

"Ini udah mau azan Subuh, kamu harus bangun, Nin!"

Goncangan pada pundak membuat Anindya akhirnya membuka mata. Gadis itu langsung menekuk wajah begitu melihat siapa orang yang mengganggu tidur nyenyaknya.

"Apaan sih lu? Ganggu aja!"

"Udah mau azan Subuh, bangun gih!"

"Ya terus ngapa? Emang gue boleh azan gitu?" Anindya ingin kembali berbaring tapi tarikan pada tangannya membuat tubuh gadis itu mengambang.

"Ya kamu harus solat, aku berangkat ke masjid dulu. Kamu solat di rumah sama umi."

Baru Anindya sadari suara pengajian di masjid. Oh, sepertinya mulai hari ini dia harus menyesuaikan diri dengan kehidupan pesantren. Semua jadi berbau religius, lalu apa dia juga bisa menjadi orang yang lebih religius?

***

"Assalamualaikum."

"Waalaikumusalam." Anindya membalas salam dari para santri yang dia temui.

Kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat. Dari yang terbiasa bangun siang, kini harus bangun pagi, ikut salat subuh, dilanjut mendengarkan kajian, dan dilanjutkan aktivitas lain.

Seperti saat ini, Anindya diikutkan kelas oleh umi, mertuanya. Tapi baru beberapa menit masuk kelas, Anindya bosan dan meminta izin untuk ke kamar mandi. Izinnya sih ke kamar mandi, padahal asyik berjalan-jalan menyusuri pesantren.

"Gila, suami gue emang bener-bener dari keluarga terpandang." Mana dia ikut jadi orang terpandang lagi. Kalau biasanya tidak ada yang peduli dengan kehadiran seorang Anindya, sekarang semua mata tertuju padanya.

"Itu apaan kok seru banget?" tanya Anindya pada sekelompok santriwati.

"Eh, Assalamualaikum, Ning."

"Ya, Waalaikumusalam. Itu ada pertandingan ya?" ulang Anindya.

"Iya, Ning. Santri putra ada jam bebas, dipakai buat sepak bola." Tiga santriwati yang ada di depannya terlihat gugup.

"Terus kalian? Oh, kalian kabur ya dari kelas." Anindya menatap ketiga gadis itu dengan selidik. Bahkan santri yang sudah terbiasa dengan jadwal padat pun juga kabur, karena bosan, kah? Atau ada sesuatu yang spesial dengan sepak bola itu.

Short Story: Our WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang