Secret Admirer~4

3.2K 266 10
                                    

Haiii!!!

1700++ kata
Mana votenya?

~

"Baik, cukup sekian pertemuan kita. Mungkin ini menjadi pertemuan terakhir, sebelum kalian mengahadapi ujian praktik."

Nafi menyeka keringat yang mengalir dari pelipis. Olahraga kali ini dia lakukan dengan sungguh-sungguh, karena kurang dari dua Minggu ujian praktik akan dilakukan. Lalu disusul ujian nasional, yang mana menjadi akhir perjuangan Nafi.

Ya, akhir dari semua perjuangan Nafi. Beberapa teman berbisik, mereka membicarakan waktu yang terasa begitu cepat ketika mereka berada di kelas dua belas ini.

"Absen ganjil hari ini, bertugas mengembalikan alat, dan absen genap, bisa membantu melepas net."

Sesuai perintah, Nafi yang ada di absen ganjil mulai mengumpulkan peralatan olahraga. Gadis itu sesekali melirik Intan yang sibuk membantu melepas net.

Nafi menghela napas, hampir dua bulan, Intan seakan menjauh. Semua tidak lagi sama, Nafi seperti kehilangan semangatnya untuk sekolah. Tidak ada yang menyapa di pagi hari, membantunya ketika dia kesusahan menyelesaikan soal matematika.

Saat Nafi mencoba mendekat, saat itu juga Intan menghindar. Beberapa teman yang menyadari interaksi itu juga bertanya pada Nafi. Dan Nafi selalu bingung untuk menjawabnya.

Nafi berjalan lesuh ke tempat penyimpanan peralatan olahraga. Gadis itu menjadi yang terakhir mengembalikan alat, jadilah dia yang bertanggung jawab mengunci pintu ruang tersebut.

Selesai memastikan semua barang masuk, dan pintu telah terkunci, Nafi bergegas menuju ruang guru untuk mengembalikan kunci.

"Kamu yakin mau melawan mama kamu, Wa?"

"Dewa ingin sekolah kedokteran, Om."

Nafi menghentikan langkah kaki, begitu mendengar suara yang familiar di telinga. Kaki Nafi dengan lancang berbelok ke kiri di mana ruang kepala sekolah berada. Nafi menempelkan telinganya ke tembok ruangan tak tertutup itu.

"Huh, Om cuma berharap kamu berpikir lagi, Wa. Memang semua kamu yang menjalani, tapi kamu tahu sendiri, siapa lagi yang akan meneruskan perusahaan kalau bukan kamu."

Sepertinya pembicaraan ini sangat serius, Nafi jadi ikut memikirkan Dewa yang pastinya sedang bimbang.

"Apalagi sekolah kedokteran memerlukan waktu yang panjang, tidak mungkin dalam satu waktu kamu juga belajar ilmu bisnis, Dewa."

Satu hal yang baru Nafi ketahui, ternyata Dewa dan kepala sekolahnya masih terikat hubungan keluarga. Huh, Nafi ikut menghela napas. Kenapa hidup itu susah sekali, ada yang ingin bersekolah tapi tidak punya biaya, ada yang ingin masuk jurusan ini tapi keadaan mengharuskan untuk mengambil jurusan lain.

Orang mana yang tidak mau mempunyai gelar di belakang namanya? Bohong jika kalian mengatakan tidak ingin!

***

"Pesan ibu hanya satu, lakukan yang terbaik! Karena semua tidak bisa terulang kembali."

Nafi menatap papan tulis kecil yang biasa digunakan untuk absen. Mereka mulai menghitung mundur untuk hari ujian nasional.

"Itu saja yang dapat Ibu sampaikan, sukses dan tetap semangat untuk kalian."

Wali kelas keluar, bertepatan dengan bel pulang berbunyi. Nafi belum beranjak dari tempat duduknya, dia menatap Intan yang berada di bangku depan, sedang mengemasi barang bawaan.

Apa nanti, mereka bisa kembali seperti dulu? Bahkan masa SMA segera berakhir, apa Intan akan terus mendiamkannya? Bahu Nafi lemas mengingat hal itu.

"Fi, gue duluan ya."

Short Story: Our WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang