Blind

214 41 5
                                    

Ia tersenyum pada kegelapan pekat yang memeluk begitu kesadaran menghampiri. Apakah matanya telah menjadi buta? Tidak, pemuda itu merasakan perban membalut bagian atas wajah. Kini bukan hanya mata kanannya saja yang tersembunyi dari dunia luar. Sekali lagi, ia bertanya pada diri sendiri.

"Apakah aku menjadi buta? Menyedihkan."

"Bukan begitu, bodoh." Seseorang menyahut.

Ah, rupanya dia tidak sengaja mengucapkan pertanyaan tadi dengan suara serak yang membuat si pemuda mempertanyakan kepemilikannya, apakah itu memang berasal dari tenggorokannya sendiri, atau sesuatu dari alam lain.

"Hm, Chuuya? Aku tidak ingat pernah berharap kau yang ada di depanku saat aku sadar?" Pemuda itu mendengkus, "mana Odasaku?"

Chuuya yang hampir meledak seketika terdiam. Dua iris langit mencari hal lain untuk di pandang, selain penampilan menyedihkan Dazai Osamu yang masih terbaring di tempat tidur, sembari menutupi ekspresi gelisah meski ia tahu Dazai tidak akan bisa melihatnya sekarang ini. Namun, Dazai itu jenius. Dia pasti akan menebak apa yang Chuuya pikirkan meski tanpa penglihatannya.

"Chuuya kenapa?! Kau pasti membuat wajah yang bisa kutertawakan, ya? Sial ... aku ingin melihatnya ...!" Si Mackarel itu menggerutu.

"Tch! Tutup mulutmu itu, dasar sialan! Aku hanya sedang mengingat siapa yang kau panggil 'Odasaku' itu," balas Chuuya, merasa getir. Mana mungkin dia tidak ingat pria itu.

"Masa Chuuya tidak ingat? Dia temanku. Memangnya Chuuya sudah mulai pikun, ya?" Dazai mencibir. Ia ingin sekali duduk, tetapi seluruh tulang di tubuhnya seolah menjerit bahkan saat ia hanya menggerakkan tangan. Sakit sekali ... kenapa dia tidak langsung mati saja?

"Oh, aku tidak harus mengingat semua kenalanmu, kan?" Chuuya mencari-cari dalam kepalanya, kalimat apa yang bisa menipu Dazai? Sejak awal, apakah kalimat seperti itu memang ada? "Mana kutahu."

Mulut Dazai terkatup. Firasat buruk mengambang di benaknya, terutama saat Chuuya tidak menggeram atau marah seperti biasa. Apakah rekannya itu sedang bersimpati? Padanya?

Dazai memasang senyum yang membuat Chuuya terpaku. Pemuda itu menoleh, seolah bisa menatap wajah sang rekan yang tengah dirundung gelisah. "Chuuya, berapa lama aku pingsan?"

"... dua minggu."

"Ehm. Begitu, ya. Jadi memang seperti itu ...."

"...."

Suara Dazai terdengar kesepian, seolah meminta seseorang untuk segera menariknya dari jurang kegelapan yang sebentar lagi akan merenggut kewarasan. Namun, seseorang itu bukanlah Chuuya. Si surai senja tidak bisa masuk lebih dalam lagi dan menduduki tempat yang dulunya milik pria bernama Oda Sakunosuke dan Sakaguchi Ango. Dia ... bukanlah siapa-siapa.

"... Dazai." Setelah lama terdiam, Chuuya memanggil rekan kerja yang selalu bertengkar dengannya. Meski kesal, ia pun tahu sekarang bukan saatnya untuk meneriaki sesuatu ke wajah Dazai. Pemuda kurus itu pasti juga sedang terguncang, meski dia sendiri enggan untuk memperlihatkan bahkan mengakuinya. 

"Chuuya, aku tidak sedih, kok. Aku hanya ingin menerima kenyataan bahwa semua yang kutakutkan akhirnya terjadi. Ledakan itu ... kematian Odasaku dan Ango, aku hanya bisa bersyukur karena ini semua terjadi sebelum sesuatu yang lebih buruk menimpa kami."

Dengan seluruh kekuatannya, Dazai mendudukkan diri. Ia menatap ke bawah, tersenyum. Seharusnya pandangan dari permata hazel itu akan terasa menyakitkan untuk dilihat, entah kenapa Chuuya bersyukur bahwa kedua mata Dazai tertutup perban.

"...."

"Aku bersyukur, setidaknya ... kami bertiga terpisah dengan perasaan yang sama. Setidaknya ledakan bom itu terjadi sebelum salah satu dari kami mengkhianati pertemanan aneh ini. Itu saja, kok." Dazai mengucapkannya dengan enteng, tetapi beban dari perkataannya bahkan membuat Chuuya tidak bisa bernapas.

"Teme ... itu terlalu berlebihan. Dazai, cobalah untuk tidak merepotkanku setelah ini." Chuuya beranjak keluar. Dia sudah tidak memiliki apa-apa untuk dikatakan pada Dazai.

Sudah cukup ia menemani Dazai hari ini. Lebih lama lagi dan pekerjaannya yang menumpuk tidak akan pernah selesai. Besok dia akan menyediakan waktu lebih banyak untuk menghibur rekan yang putus asa itu. Jangan sampai salah satu pilar penyangga mafia lenyap karena kejadian bodoh.

" 'Terima kasih karena sudi datang ke tempat menyedihkan ini setiap hari'." Dazai berujar sebelum Chuuya benar-benar menutup pintu, membuat pemuda bersurai jingga itu terhenti. "Inginnya bilang begitu, sih. Tapi ..., Chuuya, kamu tidak harus datang setiap hari, loh? Nanti aku tambah stres."

"Apa yang kau katakan, sialan?" Chuuya mendengkus, "saat ini, memangnya siapa lagi yang kau punya? Siapa juga yang sudi menjagamu tanpa perintah dari Bos?" 

"Terus kenapa Chuuya harus?" 'Chuuya pasti berbohong. Chuuya bukan seorang pembohong yang baik!' Dazai hampir saja mengatakan itu.

Tanpa menjawab, pemuda beriris langit meninggalkan ruangan, diam-diam menitipkan balasannya pada udara. "Karena aku satu-satunya yang tersisa yang mungkin bisa kau sebut 'teman', dasar brengsek."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BSD (Bungou Sengklek Dogs)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang