Suicide Potion

119 25 5
                                    

Dazai lupa tanggal berapa dia terjun dari atap bangunan dan menyebabkan hampir semua tulangnya patah. Dia juga lupa tanggal berapa dokter itu menyapanya untuk pertama kalinya. Dan sialnya, dia juga lupa tanggal berapa dan hari apa dokter itu berjanji akan mengajarinya membuat "ramuan bunuh diri".

"Besok," kata dokter itu. Selalu begitu; selalu besok. Besok, besok, besok yang tidak ada habisnya. Dazai mulai lelah menghitung sampai akhirnya ia sampai pada satu kesimpulan: kalau tidak diajari, buat saja sendiri sambil melakukan semacam eksperimen. Bukankah itu yang biasa dilakukan oleh "dokter"?

"Dazai-kun, kenapa kamu senang sekali merampok isi lemari obatku?"

Dazai ingat si dokter bertanya begitu. Tapi dia lupa apa yang dia pakai sebagai jawabannya.

"Aku bosan. Aku mau mati! Mori-san tidak pernah mengajariku apa-apa sampai hari ini!" Kalau tidak salah, itu jawabannya.

Bukan sekali dua kali percakapan serupa terjadi. Kalau sudah begitu, Mori akan menghampiri Dazai dan mengelus kepalanya lalu tersenyum "seperti seorang dokter".

"Belum waktunya, Dazai-kun. Aku masih membutuhkan bantuanmu. Apa jadinya setumpuk rencana ini kalau kamu mati duluan?"

Dazai tidak tahu. Dia tidak mau tahu. Karena sejak awal, yang menarik perhatiannya dan membuat pemuda empat belas tahun itu bersekongkol dengan si dokter hanyalah resep "ramuan bunuh diri" yang katanya akan Mori ajarkan.

Kenapa dia harus hidup lebih lama kalau cuma untuk disuruh menjadi rekan persengkongkolan macam ini?

"Ah ... aku benar-benar mau mati!"

Lalu kedua matanya terbuka. Mulutnya terkatup setelah tanpa sengaja mengucapkan kata-kata itu lagi.

Dazai, Dazai Osamu yang sekarang sudah dewasa, melirik rekan-rekan kerjanya waspada. Tidak ada yang peduli; mereka sibuk dengan dokumen masing-masing dan Dazai bisa menghela napas lega.

Tadi dia melamun. Tadi dia juga mengingat masa lalu. Mengingat tahun-tahun pertamanya di mafia. Namun, Dazai tidak berani mengorek lagi kenangan akan saat-saat terakhir ia berada di organisasi penuh darah itu. Tidak sama sekali. Karena tanpa diingat-ingat pun, otaknya akan selalu menurunkan perintah pada alam bawah sadar untuk memutar kejadian 'itu' sebagai 'film pengantar tidur'.

Lelaki itu berkedip dua kali.

Sudah berapa hari dia tidak tidur?

Kalau dipikir-pikir, kepalanya memang agak pusing, tapi Dazai tidak terlalu peduli. Kepalanya memang sering pusing; perutnya sering berbunyi; hatinya meminta untuk mati. Serba salah. Dunia ini memang sarangnya mimpi-mimpi buruk.

Dazai berkedip sekali lagi sebelum memfokuskan pandangan ke meja di depan meja kerjanya sendiri. Dadanya berdentum-dentum. Riuh sekali di dalam sana.

Dia baru ingat lupa membeli obat tidur lagi padahal persediannya sudah habis dua hari lalu.

"Heh. Sepertinya ini buruk," gumamnya sambil tertawa hambar. "Iya kan, Odasaku? Buktinya aku bisa melihatmu sekarang ...."

BSD (Bungou Sengklek Dogs)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang