"Oh, Akutagawa-kun. Akhirnya ... kau datang juga." Dazai tersenyum, mata kirinya tak bisa dibuka karena cairan lengket berwarna merah pekat mengalirinya.
Akutagawa terpaku tepat di depan mantan mentornya. Tubuhnya mendadak gemetar. Timbul khawatir yang datang entah dari mana. Meskipun pernah berkata siap membunuh Dazai, tapi hal ini tidak pernah dia harapkan.
"Da-dazai-san ... luka itu-- tubuhmu!"
Dua tangan Akutagawa terangkat, hendak membantu Dazai bangkit. Namun dia sendiri bingung. Bagaimana caranya? Bagaimana ... sedangkan setengah dari tubuh itu tertimpa puing bangunan.
"Kurasa ini yang disebut mati rasa," gumam Dazai. Dia terbaring di sana, masih dengan ekspresi meyakinkan yang biasa.
Tanpa pikir panjang, Akutagawa membangkitkan monster haus darah dari balik mantel hitamnya. Mantel itu adalah pemberian Dazai yang selalu dia jaga. Sekarang, mantel itu yang akan menyelamatkan pemilik aslinya.
Puing besar itu hancur dengan potongan yang benar-benar halus. Namun, Akutagawa tahu hanya dengan melihat, tubuh di bawah serpihan semen dan batu bata itu tidak akan kembali sama.
"Dazai-san ...."
Lidahnya kelu. Benar-benar tak ada kata lain yang bisa keluar dari kerongkongan monster hitam Port Mafia tersebut. Akutagawa mendekati Dazai, menggenggam jemari yang kini sedingin es.
"Maaf, ya ... jadi merepotkanmu." Dazai seperti memaksakan semua otot tubuhnya hanya untuk bicara.
Akutagawa menggeleng. "Tidak. Ini bukan apa-apa. Aku sudah menelepon ambulans. Mereka akan segera tiba!"
Akutagawa bergeming saat Dazai menggeleng lemah. Dadanya menggelegak dengan perasaan yang campur aduk. Dan di saat itulah, tangan Dazai yang gemetar dan hampir kehilangan tenaganya, menyentuh pundak kepala Akutagawa.
Bibir berhiaskan noda darah itu membentuk senyum lembut. Senyum yang belum pernah ia tunjukan pada sang mafioso muda. Senyuman yang sanggup membuat Akutagawa kembali membeku.
"Kamu sudah tumbuh dengan hebat. Selanjutnya ... kalahkan Chuuya ... dan jadilah yang ... ter ... kuat di mafia." Bibir Dazai bahkan gemetar. Pria itu memaksa suaranya yang serak dan lirih untuk tetap ke luar. "Belajarlah menyarungkan senjatamu, Akutagawa-kun. Ber ... tahan. Kau pasti ...."
Tangan Dazai jatuh. Akutagawa menahannya, mendekatkan tangan berbalut perban itu ke pipi. Sesuatu yang panas dalam dadanya mendesir. Seolah meminta air matanya untuk ikut luruh bersama jiwa Dazai yang telah pergi.
Akutagawa menunduk dalam. Dia baringkan sang senior, lalu segera berdiri tegak walau sepasang kakinya terasa lemas tak bertenaga.
"Aku akan mengingat semua pesanmu dengan baik, Dazai-san. Terima kasih atas segalanya," bisiknya lirih. Akutagawa meletakkan tangan di dada, lalu membungkuk hormat—bentuk penghormatan tertinggi Port Mafia.
Angin tiba-tiba berembus, pelan dan lembut. Seolah membelai insan yang berada di tanah terbengkalai itu.
Dadanya sesak. Akutagawa tetap menunggu ambulans sambil mencari objek pandang lain selain tubuh dingin sang mentor. Hatinya terluka, tapi air mata tak pernah menetes dari sudut mata sang mafia.
Tidak, kecuali setetes yang segera dia hapus agar tidak dilihat orang lain. Cukup hatinya yang menangis.
Akutagawa terus mengawasi tim medis dari rumah sakit yang membawa pergi Dazai Osamu. Napasnya sesak. Namun, dia berlalu dan menghilang bersama senja yang makin tenggelam di ujung kota. Sebuah salam perpisahan dia ucapkan dengan penuh emosional. Namun, suaranya diterbangkan angin sebelum dapat menjangkau siapa pun.
🥀
Terinspirasi dari sini ..... 😌
KAMU SEDANG MEMBACA
BSD (Bungou Sengklek Dogs)
Hayran Kurgu(Oneshot/drabble) BSD random ______________ Bungou Stray Dogs © Asagiri Kafka & Harukawa_35