Kamakura Menyambutmu

134 29 10
                                    

Ia menemukan sebuah foto tua di kantungnya. Dazai Osamu tersenyum hambar. Ingin rasanya ia larungkan foto tua itu bersama dirinya, atau membiarkan saja benda itu terbang dibawa angin. Mungkin saja, angin baik hati akan membawakan lembaran kumal itu pada pemilik yang satunya lagi.

"Terserah." Dazai melipat kembali foto itu, memasukkannya ke dalam saku mantel musim dingin berwarna cokelat pasir.

Helai-helai kusam sewarna tanah basah miliknya tertiup semilir. Iris redupnya indah diterpa cahaya matahari. Dazai Osamu tersenyum sekali lagi. Kali ini, senyumnya mengisyaratkan lebih banyak hal. Banyak hal yang tak bisa Dazai ucapkan secara langsung. Banyak hal yang tak tahu harus Dazai ekspresikan seperti apa. Dan banyak hal ... yang Dazai sendiri tak tahu apakah itu baik atau buruk. Namun, yang jelas, satu hal buruk sudah terjadi dan ia sama sekali tak dapat mencegah meski punya kekuatan untuk itu. Ah, mungkin lebih tepat kalau disebut kartu truf yang kuat. Andai Dazai masih dapat menggunakan kartu itu ....

Dazai menatap gelungan ombak yang menabrak tebing di bawah sana. Laut Kamakura sangat ramah menyambutnya malam ini. Dingin. Anginnya makin kencang saja sampai-sampai mantel musim dingin yang ia kenakan tidak ada artinya sama sekali.

Dia bisa flu kalau berada di sana lebih lama. Namun, siapa peduli pada penyakit rendahan itu saat seseorang benar-benar ingin mati?

Dazai mengambil langkah. Satu, dua, empat, sembilan. Hingga sampailah ia di pinggir tebing itu. Satu kali saja melangkah lagi, dirinya akan jatuh, terjun bebas memeluk ganasnya ombak.

Dazai menarik napas dalam. Bukan persiapan karena takut. Namun, dia pikir, karena itu terakhir kalinya, Dazai harus meraup udara dengan rakus—sebagai bentuk perpisahannya pada dunia.

"Semoga aku tidak dilahirkan kembali," bisiknya.

Sudah cukup. Dazai benar-benar tak lagi bisa melihat arti hidup, entah apa manfaatnya bertahan di dunia yang makin lama makin terasa seperti mimpi buruk. Dazai ingin terbebas sekali saja. Alasannya untuk tetap bernapas baru saja hilang beberapa jam lalu.

Sekarang dia sendirian. Hanya angin dan bulan di langit yang akan menyaksikannya.

Hanya ....

Tetes-tetes bening mengaliri wajah tampan itu tanpa disadari oleh pemiliknya. Dazai tertegun, meraba wajahnya yang basah oleh air ... mata. Air mata? Ya, itu bukan hujan, melainkan luapan rasa yang berasal dari sudut terdalam hati kecilnya. Perasaan yang tidak ia sadari. Perasaan yang selalu ia abaikan demi logika. Perasaan yang tanpa sadar sudah membentuk Dazai Osamu yang saat ini ....

Gumpalan es di hatinya kini benar-benar meleleh.

"Aku pergi, Odasaku. Maaf tidak bisa memenuhi harapanmu."

Saat itulah, seorang bocah lelaki berlari sekuat tenaga ke arahnya. Saat itulah, si bocah lelaki menahan tangannya dan terus memanggil namanya. Saat itu jugalah, Dazai sadar bahwa dia masih memiliki orang-orang yang berharga.

Ia tersentak, tapi segera menepis tangan bocah itu. "Jangan, Atsushi-kun. Jangan ganggu usahaku lagi." Suaranya tenang, tapi bergetar menahan emosi. Emosi yang selama ini sukses ia taklukkan kini berontak hendak mendobrak keluar.

Atsushi terdiam kaku mendengar suara yang amat menyedihkan itu. Dazai membelakanginya dan tersenyum pias. Dia meminta maaf pada Atsushi sebelum melangkah ringan menuju tebing.

"Ini bukan salah Atsushi-kun sama sekali." Dazai berkata.

Dia sudah tidak sanggup lagi. Mana bisa dia tunjukkan sisi terlemahnya pada Atsushi—pada seseorang yang sangat mengagumi dan menghormatinya? Lalu pada semua orang? Apa kata Kunikida kalau melihatnya menangis? Tidak, Dazai sudah tidak bisa berakting lagi. Dia gagal. Menemui kegagalan terbesar dalam hidupnya.

Lelaki itu memejamkan mata, menikmati sensasi jatuh saat angin mendekapnya. Menikmati suara-suara sumbang yang membuat kepalanya sakit lagi. Sebelum air lautan yang ganas mencabik tubuh dan napasnya. Air lautan yang sama juga menyamarkan tangis menyedihkannya.

Ia menarik napas sekali lagi. Tersenyum dan melambai pada Atsushi yang menyaksikannya dari pinggir jurang.

Sudah tidak ada gunanya lagi. Dia sudah sangat lelah.

Lagi pula ... Yokohama sudah hancur karena kegagalannya.

Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan.

"Aku benar-benar orang yang menyedihkan, ya, Odasaku?" bisiknya sebelum tenggelam dalam kegelapan samudra.

______________

Udah lama gak update

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Udah lama gak update. Pa kabar, Reader?
Kalo kalian butuh asupan angst, bilang, yes. Mumpung aku lagi mood :>

BSD (Bungou Sengklek Dogs)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang