Aku memegang bungkus racun tikus dengan tangan gemetar. Empat gelas berisi air teh tanpa gula itu kasih teronggok di atas meja. Ragu, aku takut bila salah satu di antara kami akan ada yang selamat nanti.
Aku mendengkus, kemudian melemparkan bungkus racun tikus itu ke tempat sampah. Kulirik sajian ikan fugu yang tertata cantik di atas piring. Walau baru beberapa minggu ini belajar memasak, aku yakin rasa makanan itu akan lezat.
Untuk apa pula ketakutan tak berdasar ini? pikirku sambil tersenyum sinis.
Setelah mengembalikan kepercayaan diri, kubawa semua suguhan itu, lalu menyajikannya pada ketiga orang tamu yang menunggu di ruang depan. Namun, aku terdiam saat hanya tersisa satu orang lelaki di sana.
Osamu, lelaki itu, tersenyum amat manis sambil melambai ke arahku.
“Hai, Izumi!” sapanya, dengan nada indah yang mendayu di telingaku.
“Mana yang lain?” tanyaku, sambil meletakkan nampan berisi minuman di atas meja. Kemudian, aku kembali ke dapur untuk mengambil dua mangkuk sup fugu.
“Aku sudah mengusir para pengganggu itu agar bisa berduaan dengan malaikatku,” jawabnya. “Aku tidak ingin ada yang mengganggu acara penting kita.”
Kami duduk berhadapan dan Osamu memandangku begitu lekat. Matanya yang serupa gelap malam seakan memerangkapku dalam pusaran lubang hitam penuh jebak rayu. Ia melirik teh hijau dan sup ikan di atas meja. Jemarinya yang lentik mengusap tepi gelas, lantas seulas senyum simpul terpatri di wajahnya yang berbingkai helai-helai cokelat lemah.
“Bagaimana kau tahu rasa kesukaanku?” Ia memandang cairan dalam gelas, senyumnya begitu sulit kuartikan, sedangkan nada bicara lelaki 22 tahun itu terdengar seperti kesunyian malam yang teriris oleh rasa putus asa.
“Karena itu adalah kesukaanmu.” Aku menangkup pipinya, tersenyum saat kedua matanya terpaku padaku.
Dia menghadiahkan sebuah hal yang membuatku memejamkan mata, menikmati hangat yang lembut dan agak manis.
“Terima kasih.” Osamu tersenyum, lantas menenggak habis teh beracun yang telah kusajikan.
Sungguh jantungku berdebar tak karuan. Takut, sedih, semua perasaan buruk bercampur dan membuatku gemetar. Aku takut. Takut bahwa ia akan benar-benar pergi meninggalkan dunia ini, setelah sekian banyak percobaannya yang menemui kegagalan.
Iris gelap itu dipenuhi oleh rasa putus asa yang murni. Sesuatu yang sama sekali tak bisa kugambarkan dengan kata-kata terukir jelas di wajahnya.
Seolah belum puas mereguk racun dalam minuman, lelaki berparas elok itu memakan sup ikan fugu buatanku tanpa ragu.
“Enak. Lebih enak dari kopi deterjen yang biasa kamu sajikan.” Osamu tersenyum ceria. Senyumannya benar-benar menyakiti hatiku. Sementara suaranya makin lirih. Aku yakin ia tengah menahan sakit. “Terima kasih karena telah membantuku mewujudkan impian ini, Izumi.”
Tubuhnya mengejang. Aku tak bisa melihat sisa adegan itu. Tidak sama sekali. Dengan kalut dan gemetar, segera kutelan potongan daging ikan fugu yang dimasak tanpa prosedur khusus.
Dengan tenaganya yang tersisa, Osamu merengkuhku. Cengkeramannya pada tubuhku begitu erat. Napasnya yang berat seolah merobek helai terakhir pertahanan batinku.
“Sudah kuduga tenggelam di sungai adalah pilihan ter--”Osamu tak pernah menyelesaikan kalimatnya dan kupikir, aku akan menyusulnya segera. Namun, tidak. Daging ikan itu tak pernah meracuniku.
Dengan mudah aku menebak apa yang lelaki menyedihkan itu telah lakukan---menukar mangkoknya dengan sup ikan biasa. Untuk orang yang bahkan dapat mengakali pemerintah sambil bermain-main bersama sebuah organisasi kriminal paling berbahaya di kota, itu pasti hal yang mudah. Pasti. Namun ....
“Kenapa kamu memilih mati sendiri? Osamu bodoh!” Aku tersedu, merengkuh tubuhnya yang kini terkuai. Sakit yang bagaikan tikaman pisau benar-benar menghilangkan kewarasanku.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
BSD (Bungou Sengklek Dogs)
Fanfiction(Oneshot/drabble) BSD random ______________ Bungou Stray Dogs © Asagiri Kafka & Harukawa_35