Slice of Reality

168 27 8
                                    

"Jangan panggil aku 'Odasaku'."

"Eh?!" Kelopak yang menyembunyikan permata hazel itu segera terbuka. Dia terduduk, menyangga kepala sementara kedua matanya terbelalak.

"Mimpi?" gumamnya, masih memandang kosong ke bawah.

Mengingat kembali apa yang tadi dilihatnya dalam mimpi, detak jantung pria muda itu kembali berpacu dengan cepat. Tiba-tiba saja dia merasa takut.

Dazai Osamu memandang sekeliling, tidak salah lagi dia berada di kantor Agensi Detektif Bersenjata, tertidur di sofa setelah menyelesaikan salah satu tumpukan berkas yang sudah menjadi penunggu mejanya sejak empat atau lima hari yang lalu.

"Odasaku," gumamnya lagi, memastikan bahwa nama itu ada di ingatannya. Dia tersenyum sendu.

"Ada apa, Dazai?"

Pria muda itu mendongak, mendapati pertanyaan bernada heran dari salah satu rekan kerja terbaiknya. Dazai tersenyum dan menggeleng, membuat wajah konyolnya seperti biasa.

"Bukan apa-apa, kok. Hanya mimpi buruk," jawabnya, seraya bangkit dan menepuk-nepuk bahu pria yang sedikit lebih tinggi darinya itu. "Ngomong-ngomong, aku sudah mengerjakan berkas yang kemarin, loh~!"

Melihat Dazai masih bersikap riang, rekan kerjanya tidak bisa melakukan apa pun selain menghela napas dan tersenyum pahit. "Kau harusnya menyelesaikan itu beberapa hari yang lalu."

"Mau bagaimana lagi, kan? Aku ini orang yang sibuk!" Dazai melipat tangan di depan dada, berlagak sombong.

"Yah, kau benar." Dua iris terang beralih pada tangan kiri Dazai, "apa jarimu terluka karena permukaan kertas?"

"Ah, ini ... yah, kukira pekerjaan itu akan membunuhku cepat atau lambat ... ternyata itu yang 'lambat' ...." Dazai mengerang dengan wajah masam. Dia memandang jari telunjuk yang kini juga dililiti perban.

"Jangan berkata seperti itu, ini bukan di Port Mafia lagi." Selesai menasihatinya, sang rekan kerja berlalu, sementara Dazai tetap membuntuti ke arah pintu depan, tidak lupa meraih mantel panjangnya yang tergeletak di sofa, menyampirkannya di salah satu lengan.

"Odasaku mau pergi? Misi? Apa itu menyenangkan?" Dazai memiliki ekspresi ringan saat matanya berbinar, menatap orang yang sejak tadi dia ajak bicara.

"Itu misi yang kurang cocok untukmu, aku yakin," tolak pria berambut kemerahan itu, sambil mengecek sarung pistolnya diam-diam

"Eeeh? Tidak mungkin! Tidak ada misi yang tidak cocok untukku!" bantah Dazai, cemberut. Masih mengikuti langkah rekannya memasuki lift untuk turun ke lantai dasar.

"Kukira kau lelah?" Dua iris biru melirik si rambut cokelat kopi, memastikan bahwa wajah mengantuk itu sudah sirna, berganti dengan binar semangat yang agak aneh.

"Ikut!" rengek Dazai, membuat Sakunosuke Oda tersenyum masam, lalu mengangguk. Mau tidak mau dia mengizinkan teman baiknya itu untuk ikut dalam misi kali ini.

Diam-diam, Oda memperhatikan wajah ceria milik lelaki yang lebih muda darinya itu. Bersyukur dalam hatinya, bahwa dia tidak memilih kematian dan tetap berada di sisi Dazai.

"Baiklah, tapi kau tidak boleh mengacau." Oda mengulurkan tangannya, mengajak berjabat tangan sebagai bentuk perjanjian.

"Janji!" balas Dazai dengan nada kekanakan, tersenyum lebar, menggenggam tangan teman baiknya yang terasa hangat.

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[]

BSD (Bungou Sengklek Dogs)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang