Demam (2)

234 29 16
                                    

Kunikida sedang mengecek surel yang masuk ke komputernya di pagi hari, seperti biasa. Lalu, ia meneguk kopi yang baru dibuatnya, sama seperti biasa. Dan setelah itu ... dengan khawatir dia melirik ke arah ruang tamu Agensi Detektif, tidak seperti biasanya.

Kunikida menarik napas panjang. Makhluk berperban yang sedang tidur pulas di sofa itu hanya kelelahan karena semalaman mencari cara untuk bunuh diri. Itu saja, batin Kunikida.

Atau lebih tepatnya, dia meyakinkan diri dengan hal itu.

Dazai menjadi yang pertama datang ke kantor hari ini. Atau lebih tepatnya, dia menginap semalam. Lelaki itu kini tertidur pulas. Namun, wajahnya tampak gelisah dan Kunikida, mau tidak mau, bertanya-tanya apa yang sedang dimimpikan Dazai.

"Aku harus bekerja sesuai jadwal, baru kemudian mengecek kondisi si bodoh itu," gerutu Kunikida karena merasa pekerjaannya akan bertambah dan jengkel karena meja kerja Dazai yang berantakan.

Satu surel selesai dia baca. Iris hijaunya melirik ke penyekat ruangan. Kunikida menghela napas dan membuka surel lainnnya. Namun, matanya lebih tertarik untuk melirik ke arah ruang tamu yang tersekat hingga dari tempatnya duduk, dia tidak bisa melihat apa yang sedang Dazai lakukan di sana.

Kunikida mencoba fokus pada layar komputernya lagi.

Suara gumaman pelan mengganggu pendengarannya.

"Tidak bisa dibiarkan lagi!" Akhirnya, Kunikida berdiri dan menghampiri Dazai yang masih memejamkan mata.

Dia sudah tidak tahan!

"Oi, Dazai!" panggil lelaki berkacamata itu. Namun, Dazai tidak menyahut. Separuh wajah Dazai tertutup oleh mantel cokelat pasirnya. Walau Kunikida tahu---dia punya firasat kuat sebagai rekan Dazai---bahwa tidur si maniak bunuh diri itu tidak pulas.

Dazai jarang tertidur di kantor meski sehari-hari dia hanya bermalas-malasan. Dan terakhir kali Kunikida melihat Dazai yang seperti ini ....

"Oi!"

Kunikida tidak khawatir, dia berani sumpah!

"Ngghh ...." Dazai menggeliat, Kunikida menarik mantel yang menyelimutinya. Lelaki berambut cokelat itu berkeringat, sangat berkeringat. Ekspresi Dazai juga sedikit buruk.

Diam-diam, Atsushi, Kenji, dan Tanizaki mengintip kedua rekan kerja itu. Mereka penasaran kira-kira berapa kali Dazai akan dipukuli hari ini.

Namun, hal itu tidak terjadi. Kunikida malah berbalik dengan wajah serius.

"Oi, Atsushi. Bantu aku menggotong bocah ini ke ruang kesehatan. Cepat!"

Tiba-tiba diperintah seperti itu, Atsushi gelagapan. Namun, dia segera membantu Kunikida dengan sigap.

Para penonton bertambah.

Akhirnya, Atsushi sendirilah yang membawa Dazai ke ranjang ruang rawat. Sementara Kunikida membantu Dokter Yosano menyiapkan kompres dan air hangat.

"Dazai-san ...." Pemuda berambut perak itu diam-diam menatap khawatir seniornya yang terengah-engah dalam tidur. Tak pernah dia sangka akan dapat melihat sosok Dazai yang seperti ini.

"Jadi si bodoh ini bisa sakit juga, ya," komentar Yosano, sementara dia dengan telaten memeras kain kompres dan meletakkannya di dahi berkeringat Dazai. "Bajunya sedikit basah, mungkin dia terkena hujan semalam."

"Eh?" Tanpa sengaja, Atsushi mengeluarkan suara aneh, heran. Dazai pasti tidak sempat mengeringkan diri. "Tapi kenapa dia tidak pulang ke asrama?" gumamnya.

Semalam hujan deras. Udara dingin membuat aktivitas pagi tadi terasa berat. Orang-orang lebih suka menyembunyikan diri mereka di balik selimut, bersama secangkir minuman hangat dan penganan manis.

"Haruskah kita melepas bajunya untuk dikeringkan?" tanya Atsushi.

Kedua seniornya tampak bingung. Itu artinya mereka harus melepaskan perban Dazai yang lembab juga. Mereka memiliki baju cadangan untuk pasien yang dirawat. Namun, Dazai tidak pernah membiarkan orang lain melihat apa yang ada di balik perban-perbannya. Dia mungkin tidak akan senang dengan perhatian semacam itu.

"Yah, kurasa ...." Yosano tidak menyelesaikan ucapannya.

Dalam tidurnya yang tak lelap, Dazai bergumam. Makin lama makin jelas terdengar oleh orang-orang dalam ruangan.

"Tidak ... jangan ...." Suara Dazai amat serak dan lirih. Seakan menggambarkan kondisinya saat ini.

Awalnya, mereka mengartikan itu sebagai larangan. Dazai tidak memperbolehkan mereka merawatnya lebih dari ini. Namun, kata-kata selanjutnya membantah penafsiran tersebut.

"Jangan ... pergi. Kumohon ... Odasaku ...."

Saat itu juga, Atsushi teringat pada angin yang bertiup lembut, dan sebuah makam yang pernah dikunjungi Dazai.

Rasanya, Dazai sudah berada di dunia yang berbeda.

BSD (Bungou Sengklek Dogs)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang