Kunjungan

162 33 10
                                    

Wajahnya terlihat sangat lelah, tetapi dia menyembunyikannya dengan pandai. Aku yakin teman-teman barunya bahkan tidak menyadari apa isi hati pemuda itu.

Dazai benar-benar tidak berubah. Sisi dirinya yang lain sangat berbeda dari yang kuingat terakhir kali, tetapi inti hatinya sama seperti Dazai Osamu yang kukenal dulu.

Haruskah aku menyapanya? Hidupnya pasti hancur karena aku. Karena keegoisanku ....

"Oda ... saku ...?" Dia terpaku. Apakah aku seperti hantu dari masa lalu baginya?

"Ah, Dazai. Kau tampak sehat." Aku mencoba tersenyum, menyapanya seperti biasa. Namun, aku tahu ada yang telah berubah di antara kami. Meskipun Dazai tetaplah Dazai, satu-satunya teman berharga yang kumiliki.

Dia menampar dirinya sendiri, berulang kali, memastikan bahwa aku benar-benar ada di hadapannya dan bukan ilusi semata.

"Aku tahu!" Tiba-tiba dia memutuskan. "Ini tidak lucu Tanizaki-kun~ memakai kemampuan ilusimu untuk mengerjai orang lain ... aku bisa marah sungguhan, loh?"

Aku tidak tahu dia akan marah. Dazai selalu bertindak dingin di Port Mafia, mengumumkan bahwa dia akan 'benar-benar marah' bukan gayanya. Apa kemampuan khusus Dazai sudah hilang? Aku tidak yakin.

"Lagi pula, sejak kapan kamu tahu orang-orang dari masa laluku? Seingatku aku tidak pernah bercerita ...."

Ah, itu dia.

Dia pasti hanya memaksakan akal sehat dan logikanya untuk tetap bekerja. Aku belum mengatakan apa pun lagi, tetapi sepertinya pertemuan kami lebih tidak masuk akal baginya daripada dia yang bisa dipengaruhi oleh kemampuan khusus milik orang lain.

Dazai bisa meniadakan kemampuan khusus milik orang lain, seharusnya lebih tidak masuk akal baginya untuk terpengaruh oleh ilusi.

"Dazai ...."

"Ah ... apakah ini mimpi? Atau ilusi?! Melantur di pagi hari? Aku?! Dazai ini melantur? Sepertinya aku belum memakan jamur yang kutemukan di gunung waktu itu ...." Dia berpikir keras, tidak melihatku sama sekali. Sibuk melakukan penyangkalan atas situasi ini.

"Pasti mimpi!" Dia akhirnya memutuskan.

"Kalau begitu perlakukan aku seperti mimpi burukmu dan bicaralah seperti biasa. Kamu tampak menyedihkan." Aku memperhatikan penampilannya.

Perban di mata kirinya sudah terlepas sejak aku menariknya terakhir kali, meski dia tetap memiliki banyak perban di tubuhnya. Pakaian gelap dan mantel parit hitam sudah berganti kemeja biru muda bermotif garis dan rompi hitam. Ada juga mantel cokelat pasir di sisinya. Aku penasaran apa itu Opal yang dia pakai?

Dazai tampak berbeda. Yang lebih penting, dia jauh lebih tinggi dari saat terakhir kami bertemu. Remaja linglung waktu itu kini sudah tumbuh dewasa. Aku senang bahwa dia tumbuh dengan baik.

"Aaaargh, apa Odasaku marah karena aku belum mengunjungi makammu selama dua minggu? Aku benar-benar sibuk, kamu tahu? Baiklah, baiklah, aku akan membeli bunga dan berkunjung besok ... tolong biarkan aku istirahat!" Dia mengacak-acak rambutnya sendiri dengan frustrasi.

"Kalau begitu lakukan, aku mulai kesepian."

"Diam dulu, Odasaku! Aku tidak bisa berpikir sampai menganggap diriku sendiri mulai gila karena semua kegagalan ini saat kau tiba-tiba muncul begitu saja di hadapanku!"

Aku tahu dia masih Dazai yang biasa. Pemikirannya selalu menari-nari tak peduli apa.

" 'Kegagalan'?" Aku tidak berharap dia bisa gagal. Apa pekerjaannya saat ini?

"Ya! Gagal menemui ajal yang indah bersama seorang wanita cantik~! Aku harus memikirkan teknik baru setiap saatnya. Dan karena pekerjaanku sepenuhnya membosankan hari ini, jadi aku membolos hanya untuk menemukan diriku bicara dengan ilusimu di sini! Kupikir aku sudah mulai gila!" Dazai mejelaskan dengan sedikit berapi-api.

"Apa yang kau kerjakan sekarang?"

"Detektif. Aku menyelidiki kasus yang tidak bisa ditangani polisi militer! Tapi kami banyak menganggur jadi pulang dan menikmati tidur siang di rumah." Dia bertolak pinggang.

"Apa kau bahagia?"

Dazai tampaknya agak mabuk. Aku baru memperhatikan dengan banyaknya botol kosong berserakan di sekitar.

"Apa maksudmu?" Nadanya agak sendu, dia menidurkan kepala di meja kecil tempat kami duduk berhadapan. Pandangannya menerawang entah ke mana. "Tanpa Odasaku di sisiku ... bagaimana aku bahagia? Apa aku terlihat bahagia? Odasaku yang sudah menunjukkan dunia padaku ... aku ingin menunjukkan diriku yang sekarang ... tapi aku belum cukup baik juga, dan tidak ada yang bisa dibanggakan ...."

Apa dia sedang mengeluh? Aku terkekeh sambil mengelusi rambut ikalnya. "Kau sudah berusaha. Aku selalu bangga padamu, Dazai."

Dia tersentak kecil, lalu cepat-cepat menegakkan duduknya dan menatapku seolah baru menyadari bahwa di hadapannya ada seseorang. Kemudian, dia terkekeh.

"Kamu selalu membuatku terkejut, Odasaku. Apa sekarang sedang perayaan arwah atau bagaimana?" Aku tidak ingin mempercayai mataku saat melihat setetes cairan bening di sudut matanya. Apa Dazai menangis?

"Aku hanya ingin mengunjungi teman baikku. Itu saja."

[]

P. S
Yang nulis lagi ngelantur .... 🙂

BSD (Bungou Sengklek Dogs)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang