“Apa kau pernah merasakan sekarat? Itu perasaan yang menyesakkan saat kau berada di depan gebang, di antara kehidupan dan kematian. Kau ingin terbebas dari rasa sakit, tapi di saat bersamaan, kau tidak ingin meninggalkan dunia yang sebenarnya busuk. Itu perasaan yang rumit, tahu?” Orang yang sejak tadi mengoceh terkekeh pelan setelah mengatakannya.
“Kau pasti tidak tahu, ya, Odasaku?” lanjutnya, sambil menatap lelaki berambut merah yang sedang terdiam menyimak perkataan melanturnya.
Lelaki di depannya mengangkat bahu, sudah terbiasa dengan topik percakapan yang tiba-tiba berubah ke arah yang suram seperti ini. “Aku yakin kau lebih berpengalaman dalam hal itu,” sahutnya, sebelum menyesap kopi.
Dazai Osamu terkekeh lagi. Dia pandangi sosok di depannya, menikmati waktu di mana ia bisa dengan leluasa mengungkapkan seluruh pikirannya yang seperti benang kusut.
“Aku harap Odasaku tidak merasakannya,” gumam Dazai kemudian. Senyum yang ia tunjukkan pada Odasaku terlihat lebih menyakitkan dari ratapan pilu seorang ibu yang kehilangan anaknya. Itu adalah jenis senyuman yang hanya bisa ditunjukkan oleh seseorang yang telah kehilangan hidupnya
Sementara lelaki di depannya, Sakunosuke Oda, hanya bisa mengangguk sebagai balasan. Percakapan mereka terhenti di sana. Dazai memalingkan wajahnya. Dengan segera, pandangannya berubah suram, seolah dia tengah menatap ke dalam jurang kematian itu sendiri.
***
Lelaki itu terbangun dengan air mata yang tanpa ia sadari sudah membasahi pipi. Dazai segera bangkit dan menghapus sisa tangisnya dalam sekejap mata. Bisa bahaya kalau sampai orang-orang melihatnya.
Setelah memastikan semua pekerja di kantor detektif mengabaikannya seperti biasa, Dazai Osamu tersenyum sendu.
"Kenapa malah kau yang sekarat duluan ... Odasaku?" Ia hampir tak bisa bersuara saat rasa sesak yang amat menyiksa seakan menusuk-nusuk relung dadanya.
(*)
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.