Dazai hampir meneguk habis sampanye dalam gelasnya. Dia perhatikan Atsushi yang kembali sibuk termenung sambil memandang langit senja Yokohama. Kapal yang mereka naiki bergerak pelan, membiarkan angin laut menyapu lembut helai-helai yang tergerai begitu saja.
Dazai tidak mengerti perasaan sesak apa yang menyeruak dalam dadanya saat ini. Namun, ia ingin lepas dari hal itu segera.
"Oooh, ngomong-ngomong, kenapa Atsushi-kun di sini? Tidak berpesta dengan yang lain?" Seolah-olah baru teringat, Dazai menanyakan hal itu dengan wajah keheranan.
Atsushi mengalihkan fokusnya kembali pada dunia nyata. Kalau boleh, dia juga ingin menanyakan hal yang sama pada seniornya itu. Namun, tampaknya Dazai akan menjawab dengan main-main seperti 'aku sedang memperhatikan apa ombaknya cocok untuk bunuh diri' atau sesuatu yang mirip.
"Iie, aku hanya mencari Dazai-san ...," jawab Atsushi dengan agak ragu.
Dazai tertawa pelan, tetapi hanya itu. Sepasang iris cokelatnya kembali menatap laut. Dia ingin bertanya 'kenapa' hanya di dalam hati, tetapi tampaknya kata itu benar-benar terucap karena Atsushi menjawab dengan agak bingung.
"Karena Dazai-san tidak ada di aula pesta," katanya.
Dazai tersenyum tipis. Senyum yang menyiratkan begitu banyak hal. Benar-benar jawaban yang polos dan murni, pikirnya. Jawaban yang tidak sesuai untuk Dazai. Perhatian itu seharusnya tidak dia dapatkan. Kalau diberi terlalu banyak hal manis, Dazai jadi bingung sendiri.
"Aku cuma ingin merenung sebentar, kok," gumam Dazai, tetapi dia yakin telinga Atsushi yang sensitif mampu menangkap perkataannya sebelum angin meniupnya pergi.
Bohong. Atsushi tahu itu. Entah karena Dazai lebih suka menyendiri atau apa, tetapi terkadang, dia merasa seniornya itu bukan bagian dari mereka.
Dazai memiliki dunianya sendiri. Tempat yang tidak bisa dijangkau oleh siapa pun lagi.
Atsushi menggigit bibir bawahnya. Perasaan tidak nyaman mengganggunya sampai sebuah panggilan yang agak kasar membuyarkan lamunan keduanya.
"Kenapa kalian malah berduaan di sini?!" Pertanyaan sinis itu datang dari Kunikida.
Dazai dan Atsushi seketika menoleh, mendapati seluruh staf utama Agensi berada di dek, membawa minuman di tangan mereka.
"Semuanya ...." Atsushi kehilangan kata-katanya. "Kenapa kalian ada di sini?"
"Kalau kalian tidak ada bagaimana kita bisa bersulang? Dasar!" Kunikida menghela napas dengan kasar, lalu mengalihkan pandangan pada Fukuzawa Yukichi, pimpinan mereka. Pria paruh baya berambut perak itu tersenyum hangat, senyum yang amat jarang diperlihatkan.
"Berkat kerja keras kalian semua, Yokohama berhasil diselamatkan. Dazai, Atsushi, terutama kalian berdua. Kerja yang sangat bagus." Fukuzawa mengangkat gelas sampanye miliknya, "Untuk kerja keras dan kemenangan kita."
Dazai terdiam. Sejak tadi mulutnya terus saja terkunci, sementara pikirannya mencoba memproses apa yang sedang terjadi.
Dia hanya melakukan semua tindakan karena nalurinya yang sangat tajam. Semua sudah direncanakannya sejak jauh hari. Itu hal yang wajar. Dia hanya melakukan apa yang dipesankan sahabatnya. Hanya itu ....
Dazai ikut mengangkat gelasnya yang hampir kosong, tersenyum lebar saat sesuatu yang hangat dan terasa asing menyeruak dalam dadanya. Itu bukan hangat dari aliran darah, dan rasanya benar-benar nyaman. Dazai sendiri sampai tidak tahu harus bertindak seperti apa. Dia hampir kehilangan seluruh kata-katanya.
"Kanpai," ujarnya, saat senyum lebar tidak bisa ia tahan-tahan lagi.
"KANPAAAI!"
Denting gelas terdengar, kali ini lebih riuh dari yang Dazai ingat terkahir kali saat ia bersulang dengan bahagianya. Kali ini, tidak hanya bertiga. Ia dikelilingi orang-orang yang tertawa dan mengakui kerja kerasnya.
"Ternyata kamu benar, Odasaku. Semuanya sama sekali tidak terasa buruk," bisiknya di sela-sela riuh itu, sambil memandangi sebuah kotak korek api.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.