"Bagaiamana mi?"
Tanya Anwar saat melihat istrinya yang baru saja berjalan menuruni tangga.
"Bi, sementara kita turuti saja kemauan Ezal."
Jawab Alma yang saat ini sudah duduk disamping suaminya. Dia berusaha sebaik mungkin agar suaminya mengerti dan paham dengan posisi Ezal saat ini.
"Ezal juga punya pilihan buat masa depan Ezal sendiri mi, jadi cukup merintah Ezal untuk selalu bilang iya."
Ucap Ezal dengan tatapan penuh harap memandang lurus kedua mata uminya. Dia benar-benar lelah dengan semuanya, kalau Dia bisa menyerah dan mengakhiri semuanya Dia akan lakukan itu. Tetapi dikedua sisi ada tekanan dari abi dan uminya, yang membuatnya ingin marah dan marah kalau Dia mau.
Disana Alma terlihat menghembuskan nafasnya berat. Pandangannya berubah menjadi sendu setelah mendengar semua ucapan anaknya yang sangat mengagetkan dan juga menyakitkan hatinya.
"Baiklah kalau itu mau mu, umi akan coba berbicara baik-baik dengan abi."
"Apa?! Umi setuju dengan Ezal sekolah disekolahan yang terkenal dengan muridnya yang ..., astaghfirullah mi."
Tangan Alma terulur mengelus lembut pundak suaminya, mencoba untuk menenangkannya agar tidak kembali marah-marah seperti tadi.
"Bi, dengerin umi. Kita tunggu saja sampai Ezal lulus SMA baru nanti kita daftarkan dia di Turki."
"Tapi mi, bagaimana kalau dia berulah lagi disana, disini ada kita yang selalu mengawasi saja masih urakan, apalagi disana tanpa adanya pengawasan dari kita mi."
Mendengar itu Alma mengangguk paham. Dia sangat paham apa yang ditakutkan Anwar jika Ezal sekolah dluar. Tetapi dengan pengungkapan Ezal tadi, ia rasa orang tuanya harus mengalah untuk sementara waktu.
"Iyaa, umi paham bi. Tapi Ezalnya tidak mau bi, kita selama ini sudah cukup mengekangnya. Dia juga punya hak untuk memilih, jadi umi sarankan untuk menunggu Ezal sampai lulus SMA baru kita kirim dia ke Turki."
"Kalau dia tetap nggak mau?"
"Itu akan menjadi urusan umi, abi sudah cukup untuk memerintah Ezal. Sekarang giliran umi."
---
Dipertangahan tidurnya, Ezal tersentak bangun saat merasakan getaran hebat dari ponsel yang berada tepat di sampingnya. Dia pun mengangkat telfon tersebut setelah membaca nama siapa yang menelfonnya.
"Halo Ben?"
"Hoy!!! Jam enem yaa biasaaa."
"Hmmm."
"Ini gue sama yang lain udah otewe kesana, lo sholat maghrib dulu baru kesini."
"Hmmm."
Setelah itu saluran telfon pun terputus. Kemudian Ezal melirik jam yang tertempel di dinding dengan model kotak. Disana jam sudah menunjukkan pukul 18.10 menit, dan ia belum melaksanakan sholat maghrib.
Setelah Dia berbicara dengan uminya tadi, Dia langsung memtuskan untuk tidur berniat menghilangkan semua kekesalan dan kemarahannya. Biasanya semua itu Dia luapkan kepada alat-alat musiknya seperti gitar dan drum, tetapi waktu itu masih jam-jam sekolah jadi ia tidak berani untuk melakukan hal itu.
Sepanjang tidurnya Dia hanya bangun saat mendengar suara adzan dan pergi untuk sholat. Meskipun ia dikenal dengan kenakalannya, Dia tetap tidak lupa untuk meninggalkan ibadah wajibnya. Dia tidak mempunyai nyali yang cukup berani untuk melawan yang telah menciptakan langit dan bumi.
Untuk ketiga temannya yang sengaja menyruhnya sholat, itu karena mereka sudah terbiasa dengan kehidupan Ezal yang tidak pernah sekalipun meninggalkan ibadah lima waktunya. Jika ditanya bagaimana dengan mereka bertiga. Sudah pasti jelas mereka jarang atau bahkan hampir tidak pernah melakukannya. Tetapi berbeda dengan Alwin, karena diantara mereka berempat hanya Alwin yang non muslim.
KAMU SEDANG MEMBACA
EZAL [TAMAT]
Teen FictionKetika anak pondok, apalagi anak dari pemilik pondok yang biasanya memiliki karakter alim dan mengerti agama, hal tersebut sangat berbeda jauh dengan Ezal. Karena didikan sang ayah yang terlalu keras dan ketat membuat Ezal menjadi anak yang keras k...