"Anjaayyy keren banget gue."
Ucap Ezal merasa bangga dengan dirinya sendiri karena telah lancar menghafalkan sekaligus menyamakan lirik lagunya dengan kunci gitar. Kemudian dia kembali menghafalkan lirik selanjutnya dari lagu itu. Tidak sepenuhnya lagu itu dia hafalkan, hanya setengah nya, atau bisa dibiliang bagian ayat pertamanya saja.
"Merah pipi ini
Saat ku lihat dirinya
Mungkinkah ini yang dinamakan cinta
Malu hati ini
Saat ku tatap wajahnya
Mungkinkah ini yang dinamakan cinta
Tapi ku malu'
Tuk mengatakan
Pada dirinya
Oh Tuhan, tolong aku sampaikan
Pesan ini padanya
Agar dia tahu bahwa kini
Aku jatuh cinta
Oh Tuhan, bantu aku temukan
Cara tuk mendapatkan dia."Suara baritone milik Ezal itu mengalun lembut diiringi dengan suara gitar elektrik yang dia mainkan dengan sangat indah. Tidak membutuhkan waktu lama, kini dia sudah bisa menghafalkan lagu 'pesan cinta' dengan sangat mudah. Kemampuannya untuk menghafal kunci memang sudah tidak bisa diragukan lagi. Meskipun dalam menghafal materi pelajaran dia kesusahan dan lelet. Tetapi jika sudah menyangkut musik, dirinya akan terlihat seperti anak yang sangat berbakat dan cerdas.
Sekarang jam persegi yang berada di dinding kamar Ezal menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Dia pun berfikir bahwa dia akan menyerahkan lagu ini ke Syila, maka dari itu dia harus melakukan rekaman sekarang juga dan besok subuh dia akan menitipkan ke Varel untuk diberikan kepada gadis penerimanya.
Di sana, Ezal membuka loker meja belajarnya untuk mengambil sebuah kotak pensil transparan, yang di dalamnya terdapat beberapa flashdisk dan memori card. Kemudian dia mengambil dua buah memori card yang seingatnya benda itu belum berisi satu file pun. Lalu dia memasukkan memori card itu ke dalam ponselnya untuk mengecek isi dalam benda kecil itu.
Ternyata setelah Ezal lihat, di dalam memori card itu berisi foto-foto masa kecilnya. Dimana saat dia masih balita, pidato, menghafal Al-Qur'an, bahkan saat dia baru menginjak bangku SMP dia sudah menjadi imam sholat wajib di masjid pondok putra. Foto-foto lama itu membuat ibu jarinya berhenti bergerak di atas layar ponselnya. Kenangan indah namun menyiksa bagi dirinya itu kembali berputar di kepalanya. Indah karena masa kecilnya penuh dengan ketaatan, menyiksa karena masa kecilnya penuh dengan paksaan dan itu diluar batas normal.
Sebenarnya Ezal merasakan kekecewaan dalam dirinya saat melihat kondisi dirinya yang sekarang. Semakin hari semakin jauh dari kata taat. Meskipun sholat wajib dia lakukan setiap harinya, tapi dia merasakan hal yang sangat jauh berbeda dengan semasa kecilnya dulu. Tetapi dari semua itu, memang inilah kemauannya. Ingin bebas.
Masa kecil yang penuh dengan tekanan, dan paksaan membuat Ezal seperti ini. Masa kecil yang terlalu fokus dengan menghafal Al-Qur'an, latihan ceramah, menjadi imam tanpa ada hiburan sama sekali. Bahkan dulu waktu kecil, dia adalah anak yang sangat introvert, tidak punya teman. Bahkan keluar bermain bersama teman-teman dia tidak pernah merasakannya. Yang menjadi hiburan dia waktu itu adalah hanya gitar elektrik yang sampai saat ini masih bersamanya. Itu pun abinya baru mau membelikannya saat dia baru mau beranjak ke bangku SMA.
Ezal memandangi gitar yang berada di pangkuannya dengan sayang. Hembusan nafas yang terdengar sangat berat itu pun keluar. Semenjak adanya gitar, hidupnya perlahan mulai berubah. Yang merubah dirinya menjadi Ezal yang saat ini. Pembangkang, tidak menurut, kasar, cuek, bahkan menjadi jauh dari Tuhannya.
"Ezal."
Suara ketukan pintu disusul dengan suara uminya, membuat Ezal tersadar dari lamunannya.
"Iya mi."
"Umi masuk yaa."
Ucap uminya, kemudian membuka pintu kamar anaknya secara perlahan. Senyum uminya terpampang indah di wajahnya saat melihat anaknya yang melihatnya masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
EZAL [TAMAT]
Teen FictionKetika anak pondok, apalagi anak dari pemilik pondok yang biasanya memiliki karakter alim dan mengerti agama, hal tersebut sangat berbeda jauh dengan Ezal. Karena didikan sang ayah yang terlalu keras dan ketat membuat Ezal menjadi anak yang keras k...