Chapter 11 : Dari Dunia Iblis

70 15 2
                                    

"Ayah! Maafkan aku! Tolong ampuni aku! Aku tidak bermaksud—," seorang anak laki-laki sedang berjalan cepat di koridor, tepat di belakang sosok yang berukuran lebih besar daripada dirinya.

"Ayah! Maafkan aku! Tolong ampuni aku! Aku tidak bermaksud—," seorang anak laki-laki sedang berjalan cepat di koridor, tepat di belakang sosok yang berukuran lebih besar daripada dirinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa maumu sekarang? Tidak puas sudah membuat aku malu di hadapan raja lainnya?" tanya sosok di depannya dengan tegas.

"Ayah, bahkan mereka tidak terfokus pada kita, mereka hanya fokus pada Zagan dan Irvine!" seru anak itu, tidak mendapatkan balasan apa-apa. Ia menundukkan kepalanya, menggigit bibir menahan emosi dan tangis. Ia gagal menyelamatkan temannya tepat waktu sekaligus membuat ayahnya kecewa.

"Selamat malam, Tuan Belphegor. Maaf mengganggu waktunya. Saya mendengar anda baru saja tiba, saya sudah menyiapkan tempat untuk anda berelaksasi," ucap seseorang yang berasal dari depan mereka.

"Ya, aku akan istirahat. Terlalu banyak yang terjadi hari ini," ucap Raja Belphegor, melepas jubah bulunya dan memberikannya pada pelayan itu. Ia kembali berjalan, melambaikan tangannya pada anak yang di belakang.

"Morax, tetap di kamarmu sampai esok tiba. Jangan terlalu banyak tingkah," perintah raja berambut putih itu, punggungnya yang lebar seperti ogah untuk berbalik pada sang anak.

"...Baik, ayah."

Morax dengan lesu berjalan ke kamarnya, ingin tidur dan melupakan semuanya. Entah apa yang akan ayahnya lakukan nanti, menghukumnya? Morax menghela napasnya, bodo amat, sih... Sebenarnya, ia lebih khawatir dengan sahabatnya.

"Silahkan, Tuan Muda," ucap seorang pelayan sambil menundukkan kepala, membuka pintu kamar pangeran itu. Morax dengan cuek melangkahkan kaki ke dalam.

Kamar berbentuk lingkaran itu luas dan besar, dengan nuansa biru tua dan beberapa hiasan seperti bintang yang menyala pada dinding dan langit-langitnya, tidak lupa juga dengan koleksi buku yang mencapai rak-rak di kamar ini. Atap ruangannya pun setengah bulat seperti planetarium. Sejak kecil, Morax senang sekali dengan astrologi. Dia meminta ayahnya untuk membuatkannya kamar seperti di luar angkasa. Seluruh properti di kamarnya berwarna hitam dan biru tua, dilengkapi dengan ilusi meteor atau bintang jatuh yang berperan sebagai cahaya di kamarnya.

Benar, dia dulu dekat sekali pada ayahnya, seperti hubungan ayah dan anak pada umumnya. Namun, semakin ia bertambah usia, ia semakin dituntut untuk bersikap dewasa dalam rangka mempersiapkan diri menjadi raja selanjutnya. Pasalnya, itu yang membuat hubungan mereka retak. Ditambah insiden pembunuhan itu... Insiden yang membuat anak itu membenci nasibnya seumur hidup.

Morax bahkan tidak pernah berbincang lagi dengan ayahnya selain untuk menerima omelan. Yah, mungkin hanya nasibnya saja yang sial, harus lahir di keluarga kerajaan. Lagipula, Morax tidak sendiri. Anak raja lainnya pasti juga diperlakukan sama halnya seperti ia.

Morax berjalan menuju jendela untuk membuka tirai, namun pelayan yang tadi menyapanya. "Selamat malam, Tuan Muda. Saya sudah menyiapkan air hangat untuk berendam dan beberapa makanan. Jika Tuan Muda bersedia, biar saya antar ke dalam," tawar pelayan itu dengan sopan.

INFERNO: The Lost PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang