Ramiel sedang berjalan di taman istana menuju tempat berkumpul yang sudah disetujui oleh 9 bocah pada malam sebelumnya, mentari pagi menyinari mereka dengan hangat. Cuaca di Pandemonium hari itu sangat bagus! Beberapa kupu-kupu terlihat mengelilingi taman.
"Ami!"
"Ng?" Pemuda berambut hitam itu menolehkan kepalanya ke sumber suara, mendapati Eligor sedang melambaikan tangannya.
Anak yang dipanggil segera berjalan ke bundaran taman yang tampaknya memang dibuat untuk beristirahat, di sana terdapat satu gazebo, beberapa kursi dan meja. Ramiel memfiksasi matanya pada Belial yang sedang bersandar di gazebo, hanya mengangguk sebagai kode 'silahkan bergabung'. Kemudian di kursi taman yang memanjang, Gusion, Dantalion, dan Astaroth sedang duduk dengan wajah yang tampak depresi.
"Kalian kenapa murung?" tanya Ramiel heran, menaikkan satu alisnya.
"Kemarilah, biar kami ceritakan," ajak Astaroth, menunjuk posisi kosong di sebelahnya yang muat untuk satu orang.
Ramiel sempat berpikir untuk sesaat, mendapati Morax justru duduk di sebelah Belial. Halphas dan Malphas berdiri, Eligor duduk di kursi sendiri. Tapi ya, Ramiel itu polos, jadi dia menurut saja dan duduk.
...
"Ramiel..." panggil Dantalion, nada suaranya terdengar sedih. Ramiel menoleh.
"Kursi ini... baru dicat dan belum mengering," tambah Gusion.
Ramiel kembali menatap ke arah depan dengan kosong, kini ekspresi wajahnya jadi ikut depresi layaknya tiga pangeran di sebelahnya.
"Oh..." Ramiel merasakan bokongnya mulai basah karena cat yang menembus celananya.
"Pfft. HAHAHAHAHA!!" tawa Halphas sangat kencang, ia mengeluarkan ponselnya dan mengambil foto dari empat laki-laki murung itu.
Cekrek!
"Halphas," panggil Malphas, menyuruhnya untuk kembali kalem. Tawanya itu, gak ada aura pangerannya sama sekali!
"Ahahahaha," tawa Eligor pelan dengan manis, tangannya menutup mulut. "Tolong kirimkan foto tadi ke grup chat kita, ya!"
"Asta, padahal aku sudah bilang catnya masih basah," omel Morax (yang sebenarnya tidak terdengar seperti ngomel, bicaranya halus banget), ia menyilangkan lengan di depan dada.
Beberapa menit lalu...
"Ini kan tempatnya? Belum ada siapa-siapa," tanya Astaroth sambil celingak-celinguk, tangannya masih menggenggam tangan Morax yang lebih mungil.
"Kita tiba tiga puluh menit sebelum perjanjian, menurutmu apa sudah ada yang datang? Percaya padaku, mereka kan hobi ngaret," gumam Morax, melihat jam tangannya. Pukul setengah sepuluh pagi. Sebenarnya, mereka semua diberikan waktu bebas selama seminggu untuk mempersiapkan ujian evaluasi. Setelah sarapan tadi, Morax mengajak Astaroth kencan kecil di taman sebelum pertemuan dimulai, tapi tampaknya mereka tetap datang terlalu awal.
"Mau jalan lagi? Tapi kita sudah keliling. Gimana kalau istirahat?" usul Astaroth, kemudian tangannya ditarik oleh Morax.
"Gazebo saja. Kursi itu kelihatannya baru dicat dan belum kering," ujar Morax, ia berjalan menjauh.
"Apa iya? Nggak, ah," lawan Astaroth, dengan bodohnya ia duduk di atas bangku yang dimaksud oleh Morax.
Si pangeran berambut domba itu hanya menatap datar.
"Oh," gumam Astaroth pelan, merasakan sesuatu yang lengket dan basah pada celananya.
"Uh... Sudah kubilang..." Morax memijat pelipisnya sendiri, tidak mengerti lagi dengan taraf kebodohan kekasihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
INFERNO: The Lost Prince
Fantasy[END; DILENGKAPI DENGAN ILUSTRASI DI BEBERAPA CHAPTER] "...Mustahil. Pangeran itu, sudah tewas ratusan tahun yang lalu!" Tidak ada yang menyangka bahwa karya wisata itu akan membawa malapetaka. Belle Vierheller, seorang murid SMA yang bisa dikataka...