Chapter 66: Mimpi dan Racun

72 12 0
                                    

"Jadi, berapa lama lagi kita akan sampai, Astaroth?" tanya Belial tidak sabar. Mereka tidak ada yang membawa jam jadi sulit untuk menentukan waktu, tapi Belial yakin ini sudah pukul tiga pagi. Anak-anak di kereta sebelah sudah setengah terlelap, hanya Belial dan Ramiel yang masih terjaga penuh. Astaroth membuka matanya yang terasa berat.

"Ng... Kita sudah mulai menjauhi pusat kota dan bergerak turun. Tidak lama. Lihat, sudah mulai banyak celah-celah dan gua di sini," jawab Astaroth. Ramiel melirik ke iblis di sebelahnya sebelum kembali memandangi lautan yang kini sudah sepi. Hanya air, ganggang, terumbu karang, serta ikan-ikan yang hanya lewat. Suhu semakin dingin dan pemandangan semakin gelap, entah mau turun sedalam apa mereka?

Belial tertegun. Mengapa perjalanan mereka mulus sekali? Iya, mereka memang diserang 50 siren sebelum ke Cocytus, namun sejauh ini belum ada apa-apa lagi. Ya bagus sih, tapi justru janggal! Selama beberapa bulan terakhir Belial hidup dalam 'Latihan Kejut Jantung' (dia yang menamainya sendiri) karena hampir setiap hari ia berada dalam kondisi mengancam nyawa.

Matanya terasa berat, namun anak itu harus tetap bangun. Iblis lain tidur, hanya si anak baru saja yang bangun. Sepertinya ia tidak mengantuk sama sekali?

"Malaikat tidak butuh tidur. Tidak butuh makan dan minum. Kau tidur saja, aku akan berjaga," kata Ramiel tiba-tiba, menatap Belial. Pangeran yang ditatap tampak ragu untuk sesaat. Apa ia bisa mempercayai pangeran itu? Memang dia muncul entah darimana, tapi mereka ada di sisi yang sama kan?

"...Baiklah. Kita akan bergantian. Bangunkan aku setelah lima belas menit," ucap Belial, mengiyakan. Lagipula, matanya terlalu berat untuk tetap bangun. Ramiel hanya mengangguk, melihat ke arah lautan luas lagi.

Hanya butuh beberapa detik sampai Belial memejamkan matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam tidurnya.

***

"Belle? Bangun, sayang. Sudah pagi."

...?

Suara itu sangat familiar. Kenapa bisa ada di sini? Belial dengan segera membuka matanya, penglihatannya masih buram karena baru bangun. Ketika ia bisa memproses sekitarnya, ia tersadar.

Udara yang hangat, semburan cahaya mentari datang dari jendela. Ia sedang duduk di atas tempat tidurnya, mengenakan kaos dan celana pendek. Rambut cokelatnya berantakan. Tidak ada air, tidak ada pakaian formal.

"Mama?" tanya Belial heran. Ibunya—Nyonya Vierheller sedang berdiri di hadapannya, mengenakan celemek. Ibunya menaikkan satu alis dengan heran.

"Mandi sana, putra kesayangan mama, birthday boy-nya mama. Jangan lupa hari ini kita pergi seharian merayakan ulangtahunmu! Ayah dan Arabella sudah siap, Olivia juga akan datang," seru Nyonya Vierheller, memeluk anaknya dengan gemas sebelum mendorong Belial ke kamar mandi dan pergi.

Belial menatap lantai kamar mandi dengan horror, shower di atasnya menyala.

Aneh. Ada yang aneh. Kenapa aku di sini? Bukannya aku tadi berada di...?

Apa? Berada dimana? Memangnya aku kemana...

"Duh. Mimpi buruk terus," gerutu Belle kesal, mengetuk kepalanya. Hari ini hari ulang tahunnya yang ke-17. Beberapa bulan telah berlalu setelah karya wisata, dan semenjak ia jadian dengan Olivia.

Olivia, ya? Kenapa rasanya sangat kangen? Bukannya kemarin mereka habis bertemu?

Belle dengan segera menyudahi mandinya, mengeringkan tubuh, dan mengenakan pakaiannya. Anak itu berjalan dengan terburu-buru ke lantai bawah rumah, melihat anggota keluarga yang lain sedang bersiap ke mobil.

"Belle!" sapa seorang gadis yang ceria, membuat wajah Belle memerah. Perempuan itu berlari ke arah pacarnya, memberinya sebuah kecupan di pipi. Manis, sangat manis. Rambut pirangnya dikepang dua, mata merah mudanya sangat menawan.

INFERNO: The Lost PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang