Chapter 19 : Intermezzo dan Surat Perkamen

58 16 1
                                    

"Hmm, terus? Kamu apakan?" tanya Belial, tangan kirinya menopang dagu, sementara tangan kanannya memegang sendok.

"Aku sentil belalangnya! Tapi waktu jatuh sepertinya terinjak," cerita Olivia dengan antusias. Belial menatapnya dengan wajah kaget, anak ini sadis juga...

Belial segera berpisah dari Astaroth dan Dantalion setelah permasalahan dan drama di kamar mandi usai, yang jelas ia sudah kering dari atas sampai bawah (tolong jangan tanya bagaimana, karena perang dunia ketiga hampir terjadi tadi).

Phenex membawakan mereka tiga payung untuk berjalan-jalan, yang sebenarnya ia menawarkan Belial untuk mendampinginya tapi ia menolak. Anak itu langsung memutar mencari tempat anak-anak lainnya berkumpul, mengarah ke sebuah restoran terbuka dengan nuansa kayu alam. Mungkin sedang beruntung, karena ia langsung menemukan Olivia bersama teman-temannya di sana. Belial cukup senang karena teman-teman gadis itu cukup suportif untuk menyuruh anak itu pergi (kencan) bersamanya.

"Heh, haha. Lalu?" tanya Belial, menyeruput kuah krim supnya. Ia masih fokus mendengarkan kisah yang diceritakan Olivia daritadi, mulai tentang ia menemukan kerikil berbentuk love, awan berbentuk angsa, kupu-kupu, hingga belalang yang lompat ke jarinya. Meski terdengar absurd, Belial tetap menikmati pembicaraan ini.

"Hmm, entah, soalnya tiba-tiba turun hujan, jadinya kita semua ngungsi ke sini, deh... Ada juga sih ke tempat yang lain. Padahal kan aku mau jalan-jalan dengan Belle setelah ini!" jawab gadis itu murung. Belial berpikir sejenak, badai ini ulah Phenex, kan? Kalau dia minta Phenex menghentikannya, apa bisa?

"Hah!" hela Olivia di depannya, tersadar akan sesuatu. "Hujan mendadak di hari yang cerah, bukan cuna hujan, tapi badai! Lihat ke luar sana, apalagi tadi banyak sekali petir, aneh, bukan? Hm... Jangan bilang, ini ulah kalian?" tebaknya.

"Ahh itu, ahahahehehe..." Belial menggaruk bagian belakang kepalanya, menolak menjawab. "Hm," gadis di depannya menyilangkan kedua lengan di depan dadanya. "Ah, maaf-maaf. Nanti kucoba minta Phenex, kalau tidak bisa juga, aku janji membawamu jalan-jalan kalau sudah pulang nanti! Kau mau apa? Nonton bioskop? Shopping? Taman Hiburan? Terserah Olivia, deh," ujar Belial berusaha meminta maaf, dahinya mengernyit.

"Kamu ini, tahu hati-hati, gak sih?!" omel Olivia, sedikit kesal karena Belial tidak peka. Belial memiringkan kepalanya dan membalas, "Hati-hati apa?"

Di saat itu juga, rasanya Olivia ingin menerkam anak di hadapannya.

"Ih, kamu! Bikin kesel! Harus banget aku nanya kamu gapapa? Ada yang sakit? Haaaaaahh?"

Belial tampak kaget sedetik, kemudian menahan tawanya dengan manis. "Pfft, haha! Olivia khawatir? Ngga kok, Belial ga kenapa-kenapa. Lagian kalau ada masalah pasti sekarang Belial ga bersama Olivia, kan?"

Melihat dan mendengar tawa kecil dari laki-laki itu, Olivia bak tertembak panah cupid dari entah mana. Gadis itu cemberut dan mengalihkan topik pembicaraan.

"Oh ya. Karya wisata jadi dipercepat ya... Kakek dan nenek juga menelponku melulu, sih. Sepertinya mereka khawatir, padahal kan aku ga kenapa-kenapa. Lagipula laporan yang diterima kan cuaca yang tidak bersahabat. Hebat ya, Dantalion! Bisa memengaruhi orang banyak seperti itu!" serunya bertepuk tangan.

Belial menelan makanannya dan menatap Olivia tanpa ekspresi, sebenarnya tidak memikirkan apa-apa. Olivia yang melihat itu langsung meminta maaf seperti sudah melakukan sebuah kesalahan.

"Ah, maaf! Belial juga hebat banget, kok! Huaaa," ujarnya, menepuk-nepuk kepala Belial pelan seperti anak kucing.

"Hmm?" tanya anak berambut merah itu, baru sadar dengan yang lawan bicaranya ucapkan. Ia memegang tangan yang berada di atas kepalanya itu dan membawanya ke atas meja, masih menggenggamnya dengan tangan kiri untuk menahannya.

INFERNO: The Lost PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang