Chapter 103: Rumahku adalah Kamu, Luciel

79 9 0
                                    

"Jadi?" tanya Michael, membuat Lucifer tertawa. Malam hari tiba, waktunya bagi mereka untuk melepaskan rasa penat dan lelah akibat seharian penuh berada di lapangan untuk membantu latihan anak-anak iblis itu.

Lucifer mengingat persis wajah masam Michael begitu Ramiel meminta izin padanya untuk pergi keluar bersama teman-temannya ke bar, yang awalnya jelas ditolak mentah-mentah sama Michael.

Niat awal Michael memang untuk mengajak Ramiel nonton kartun anak kecil bersama, sih... Tapi Lucifer menginginkan waktu untuk berdua, jadi dia membujuk Michael untuk mengizinkan putranya main, omongannya:

"Biarin aja, dia kan malaikat jatuh, bukan malaikat agung!"

"Ahahaha!"

"...Apa ada yang lucu?"

Sangat manis. Senyuman Lucifer sangat manis—cahaya kembali ke matanya. Cahaya yang hilang untuk ribuan tahun.

"Aaaaah, hahaha," lanjut Lucifer, ia kini menyeka air mata dan memegang perutnya karena sakit tertawa. Michael menaikkan satu alis.

"Nggak, gak ada yang lucu, Michi," jawab Lucifer, kemudian memajukan tubuhnya ke arah Michael. Malam itu sangat romantis, kamar mereka diterangi oleh lampu yang memancarkan warna kuning keemasan.

"Kau bukan tipe yang tertawa kalau tidak ada yang lucu sih, Luciel," gerutu Michael, ia menyilangkan lengannya.

"Ehe." Lucifer tersenyum iseng, kemudian menjauh. Laki-laki itu berjalan ke arah pemutar musik di atas meja, mengatur alat tersebut hingga akhirnya sebuah lantunan nada terdengar.

Nada yang sangat indah itu menarik perhatian Michael yang kini ikut menghampiri meja tersebut.

"...!"

Lucifer membuka matanya terkejut begitu merasakan sentuhan pada pinggangnya, tangan yang kuat memutar tubuhnya untuk berhadapan.

"Michi?" panggil Lucifer, sedikit memundurkan kepalanya karena jarak Michael yang terlalu dekat.

Luciel gila, sudah jatuh saja masih sangat menawan.

"Cantik," gumam Michael pelan secara tidak sadar, nyaris mengundang tawa dari Lucifer kembali.

Begitu Michael melihat pipi Lucifer yang menggembung karena menahan tawa, ia tersadar akan gumaman kecilnya yang ternyata 'terlalu besar' itu.

"Katakan padaku kau gak dengar apa-apa," pinta Michael dengan nada serius, wajahnya mendekat.

"BWAH—"

"Katakan kalau kau gak dengar apa-apa."

"BWAHAHAHAHAHHA!!"

Michael dengan wajah datarnya hanya bisa membatin, ternyata dia dengar.

"...Aku sangat bahagia hari ini, Michi. Makasih banyak," ujar Lucifer, ia mengangkat tangan Michael dan mengatupinya dengan tangan sendiri.

Tatapan Lucifer tertuju pada tangan mereka, wajahnya melembut.

"Kita masih berusaha saling membunuh pukul empat dini pagi tadi," balas Michael, menghancurkan suasana.

Alih-alih ngomel, Lucifer justru mengangkat kepalanya untuk kembali bertatap mata dan tersenyum cerah.

"Mari jadikan itu pertarungan terakhir antar kita berdua, ya?" ajak Lucifer, rambutnya ikut bergerak begitu ia memiringkan kepala ke sisi kiri.

Wajah Michael memerah, terpana dengan senyuman yang rasanya sudah sangat lama ia tidak melihatnya. Malaikat itu menggigit bibir untuk sesaat sebelum menjawab,

"Iya."

Mendengar jawaban singkat itu, Lucifer merasa sangat senang. Kesalahpahaman selama ribuan tahun lamanya berakhir hari ini, sebuah 'kecelakaan' yang menyebabkan Lucifer terpaksa mengorbankan dirinya sendiri demi keluarganya.

INFERNO: The Lost PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang