Chapter 64: Cocytus, Kota yang Tenggelam

114 13 3
                                    

"AAAAAA—BRRRRBBUB."

Sebenarnya itu terdengar sangat lucu, seruan yang berubah menjadi suara blubub-blubub air karena masuk ke dalam mulut. Belial menahan napas dan menutup mulutnya, merasakan arus air yang sangat kencang. Matanya terasa sedikit perih begitu terkena air laut.

Ia diputar-putar dalam arus ombak sialan itu selama setengah menit (tapi rasanya sangat lama) sampai akhirnya tubuh anak itu menjadi lemas dan terpental keluar arus.

"Hei," panggil suara yang familiar, menyentuh bahunya. Belial langsung membuka matanya kembali, membalikkan tubuh.

"Oh, pfft. Kirain siapa, dramatis banget," komentar Morax, menahan tawanya. Belial masih berusaha berdaptasi dengan penglihatannya. Ternyata dasar laut jauh lebih gelap dari yang ia bayangkan.

"Belial, kamu gak ada bedanya dengan puffer fish. Lupa sudah bisa napas bawah air?" tegur Morax lagi, melihat pipi Belial yang masih menggembung.

"Ah, masa?" tanya Belial balik, tidak percaya.

"Tuh."

"Oh, iya juga..." gumam Belial, berusaha menghirup udara (air). Sensasi itu cukup aneh baginya. Melayang di dasar laut gelap dan dingin, air masuk ke saluran pernapasannya.

"AAAAA!!"

Jeritan kencang berikutnya menarik perhatian mereka, Belial mendongakkan kepala untuk melihat arus ombak kencang berwarna biru berkilau itu mengantar pangeran berikutnya. Sepertinya semua melalui hal yang sama, terputar dalam arus, jadi lemas, akhirnya terpental.

Butuh beberapa menit bagi Belial untuk menyesuaikan pencahayaan di sana, perlahan-lahan penglihatan anak itu semakin jelas. Sekarang delapan pangeran sudah berkumpul, menyisakan tuan rumah untuk turun ke bawah.

Memang berbeda dari bocah amatiran, Astaroth sudah melalui jalan ini ratusan kali sehingga ia hanya menetap dalam posisi berseluncur dalam arus, tidak terputar sekali pun. Pemuda itu melirikkan mata untuk melihat dimana teman-temannya berada, kemudian berenang dengan santai menuju yang lain.

"Hai, kita bertemu lagi. Bagaimana rasanya?" sapa Astaroth, melambaikan tangan.

"Bagaimana rasanya, katamu... Menurutmu bagaimana?!" balas Dantalion ketus, berenang mendekati Astaroth untuk menjambak rambutnya.

Sesuatu membuat Dantalion berhenti.

"Astaroth, rambutmu..." ucap Dantalion kagum, melihat beberapa helai rambut Asta kini berpendar biru, seperti dicat beberapa streak, namun yang ini glow in the dark.

"Puah, hahahaha! Astaga, di darat kamu jadi Ratu Elsa, di bawah laut kamu jadi Barbie!" tawa Dantalion, berenang menjauh. Asta menatapnya dengan wajah datar.

"Kenapa memangnya, ada yang aneh? Aku ganteng, kok," tanya Astaroth, mulai berenang ke depan.

Halphas dan Malphas tampak berpelukan karena air yang dingin, Gusion yang sedang melamun, Eligor menghampiri Ramiel untuk menanyakan kabar. Mereka semua tampak baik-baik saja, hanya butuh waktu untuk beradaptasi dengan situasi yang ekstrem ini.

"Gusion, kamu yang punya akses ke Judecca. Bagaimana kita ke sana?" tanya Eligor. Gusion terbangun dari lamunannya.

"Oh, ya. Lucifer pernah bilang kita harus melewati Cocytus terlebih dahulu. Karena Judecca adalah neraka paling dalam, seharusnya gerbang menuju ke sana ada di parit atau palung paling rendah di Cocytus," tebak Gusion, menoleh ke arah Astaroth.

"Uh. Aku gak pernah pergi ke dasar laut karena tidak diizinkan ayahku..." jawab Asta asal. Morax hendak membuka mulut.

"Aku tahu. Geografi Cocytus, kita harus berenang ke tenggara untuk mencapai Judecca. Seingatku, ada gua berkantung udara di dasar laut sana. Aku percaya itu adalah jawaban paling logis, karena tidak mungkin gerbang penghubung Cocytus dan Judecca direndam air. Kita hanya harus mencari gua itu," jelas Morax.

INFERNO: The Lost PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang