Rasa manis masuk menyelimuti lidah dan rongga mulutnya. Belial meneguk tehnya sampai habis, kemudian meletakkan cangkir tersebut di atas meja kembali. Rambutnya bergoyang sesekali ketika jalan yang dilalui tidak rata. Tapi tidak masalah, kereta ini sangat nyaman untuknya.
Ia awalnya mengira kereta yang akan ia tumpangi akan berukuran kecil, namun ternyata tidak. Dilihat lagi, malah seperti ruangan gerbong di kereta eksklusif.
Terdapat sofa kulit beige di dua sisi berhadapan, satu sofa muat untuk 3 orang. Belial duduk di sisi kanan belakang, Dantalion di belakang kiri, sementara Astaroth berhadapan dengan Dantalion. Di tengah terdapat jarak yang cukup untuk mengistirahatkan kaki, dan terdapat meja kecil di tengah yang dilengkapi dengan perlengkapan seperti cangkir, teko air, teh, gula, dan makanan ringan. Desain kereta itu sangat menyerupai istana Asmodeus, mayoritas putih dan beige dengan hiasan marmer. Elegan dan mewah.
Jendela di sekeliling juga cukup besar untuk melihat keluar, tirai bagiannya dibuka lebar. Jika melihat ke sisi pengendara, ia bisa melihat pelayan yang mengantar mereka, duduk di atas kursi untuk mengendalikan dua hellhorse putih. Di belakang juga masih terdapat hellhorse yang ditumpangi Phenex, bertugas untuk menjaga bagian belakang kereta.
"Bagaimana pemandangan kota Caina, Bel?" celetuk Dantalion, melihat Belial yang sedari tadi celingak-celinguk menoleh keluar jendela. Anak itu berpaling.
"Jinnestan cukup jauh dari ekspektasiku. Aku kira neraka benar-benar hanya ada api, api, dan api. Siapa sangka kalau neraka mirip dengan desa-desa di dunia manusia? Di sini gak ada gedung pencakar langit sih, ya," jawab Belial sebelum menolehkan kepalanya pada jendela lagi. Suara terkekeh Astaroth terdengar.
"Benar, Caina dan Ptolomea sangat serupa dengan dunia manusia. Itu lihat, anak-anak pulang sekolah," timpal Astaroth, menunjuk keluar. Mata Belial tampak berbinar seperti anak kecil yang melihat mainan, ia sejujurnya takjub melihat pemandangan di Jinnestan.
Bayangkan, wilayah yang dikelilingi rerumputan dan pepohonan, dengan jalan batu luas seperti paving block di tengahnya. Di sebelah kanan dan kiri bisa terlihat beberapa bangunan seperti kios, salon, kafe, restaurant, sekolah, dan lainnya. Terdapat jalan kecil menuju perumahan warga, dilengkapi juga beberapa apartemen mini. Yang dapat Belial pastikan, bangunan di sini cenderung lebih lebar dibanding tinggi. Bangunan yang paling tinggi, mungkin hanya 5-6 lantai? Tidak seperti di kota dunia manusia yang mencapai puluhan tingkat.
"Kamu akan sulit menemukan gedung pencakar langit di sini karena adanya aturan tidak tertulis. Memiliki gedung yang melebihi tinggi istana kerajaan akan dianggap tidak sopan," jawab Dantalion, membaca pikiran Belial.
"Oh, begitukah? Masuk akal. Lagipula Jinnestan memang tampak seperti dunia yang sangat berorientasi pada rajanya. Tapi aku cukup suka dengan pemandangan seperti ini, adem," balas Belial, dengan iseng membuka kunci pada jendelanya dan mengeluarkan kepalanya.
"Lihat, lihat! Ada kereta kerajaan! Apa Yang Mulia Asmodeus sedang pergi menuju suatu tempat?"
Seruan itu menarik perhatian Belial pada seorang anak kecil yang mengenakan pakaian unik, apa itu seragam sekolah? Anak itu menunjuk kereta yang mereka tumpangi, memanggil teman-temannya untuk melihat juga. Gerombolan anak seusia SD datang dengan tas yang masih berada pada punggung mereka, dengan semangat berlarian.
Belial menoleh ke kanan dan kiri, melihat-lihat apa yang ada di depan dan belakangnya. Iblis-iblis lalu lalang, kebanyakan dari mereka hanya berdiri di tempat dan melambaikan tangan dengan gembira, seperti menyambut kedatangan kereta kerajaan.
"...Oh? Apa itu Yang Mulia Satan...? Sedang apa beliau di sini?"
Pertanyaan tersebut membuat sebagian besar terpatung. Ada yang berbisik-bisik, melihat sosok dengan rambut merah yang sedang celingak-celinguk seperti orang bodoh yang norak.
KAMU SEDANG MEMBACA
INFERNO: The Lost Prince
Fantasy[END; DILENGKAPI DENGAN ILUSTRASI DI BEBERAPA CHAPTER] "...Mustahil. Pangeran itu, sudah tewas ratusan tahun yang lalu!" Tidak ada yang menyangka bahwa karya wisata itu akan membawa malapetaka. Belle Vierheller, seorang murid SMA yang bisa dikataka...