Chapter 33: Caina, Sang Saksi Bisu dari Tragedi

95 16 0
                                    

"..."

Belial tidak berkutik sedikit pun daritadi. Sensasi dingin terasa menembus kulit dan tulangnya ketika ia menyentuh pegangan besi pada pembatas lantai istana ini. Caina memang lahan yang misterius. Siang bisa berlangsung dengan sangat cerah di sini, namun seluruh benda yang Belial sentuh sejak awal ia tiba, semuanya terasa sangat dingin.

Setelah acara makan siang (yang berujung menjadi kericuhan) di ruang makan, masing-masing dari mereka mengambil jalannya sendiri. Asmodeus dan Sytry pergi ke ruang kerjanya di istana, Astaroth sedang berjalan di kebun untuk mencoba mencari sinyal yang bagus untuk menghubungi Morax.

Belial tidak jauh berbeda, sebenarnya. Ia tidak punya tujuan lain di sini setelah kekasihnya tertidur (anak itu baru ingat kalau ini mungkin sudah jam 10 malam di dunia manusia), jadi ia memutuskan untuk jalan santai untuk membasmi rasa kesepiannya. Benar-benar sendiri, Phenex juga pergi ke kandang hellhorse yang berada sekian ratus meter dari istana utama untuk memantau persiapan transportasi mereka.

"Istana Lust, sangat megah dan sepi, ya..." gumam Belial, memperhatikan sekelilingnya selagi berjalan.

Anak itu sekarang berada di lantai lima, berdiri di ujung balkon dalam. Setelah berkeliling, Belial menemukan beberapa hal yang menarik perhatiannya. Di setiap lantai bagian ini, pasti kosong dan balkonnya terbuka, membiarkan siapapun yang berada di sana bisa melihat ke arah bawah, tempat pemandian air panas yang sangat luas.

Belial juga baru menyadari, meski dari luar istana ini memiliki konsep eropa, bagian ini sepertinya lebih mencolok ke nuansa Jepang. Lantai pemandian dari kayu, batu-batu, dan berbagai macam aromaterapi berada di sana.

Ah, anak itu tersadar. Wajahnya menjadi kecut.

Ini, istana dari avatar dosa besar Lust. Kalau begitu, pemandian ini sebenarnya tempat untuk...

"Bingo! Caina memang sepi saat siang dan sore hari, namun sangat aktif di malam hari. Apalagi yang di hadapan kita ini, papaku dan selir-selirnya sering mandi di sini. Atau jika malas turun, ia bersenang-senang di kamarnya. Kamarnya luas sih, tigapuluh dua istri muat."

Seruan itu membuat Belial menoleh ke kanan, seorang teman yang ia kenali berjalan menghampirinya.

"Sedang apa kau di sini, Dantalion? Tidak ada urusan?" tanya Belial, melihat Dantalion yang kini sudah berada di sebelahnya. Dantalion menggelengkan kepala dan menjawab, "Nggak, aku lagi gak ada kerjaan. Succubus dan Incubus juga masih pada tidur, jadi aku gabisa main."

Belial memberikannya tatapan aneh. Mau heran, tapi ini Dantalion...

"Isi otakmu apa hanya hal-hal seperti itu...?" tanya Belial takjub.

"Eh, nggak, lho! Memangnya kenapa?! Lagian kau kan juga cowok, Bel! Masa gak pernah melampiaskan hawa nafsu, sih? Sendiri lah, minimal!" Dantalion menaikkan satu alisnya, menatap anak laki-laki yang hanya setinggi telinganya itu.

"Itu... pertanyaan yang retoris. Tidak perlu bagiku untuk menjawab."

"Pfft—Haha! Oh ya, aku lupa tanya. Sedang apa di sini? Tersesat?" tanya Dantalion, tertawa melihat ekspresi anak itu.

Belial menghembuskan napasnya dan melirik Dantalion. Kalau dilihat sedekat ini, pangeran dari dosa besar hawa nafsu itu sebenarnya sangat mempesona. Matanya yang kerap berubah warna setiap detik seperti menarik lawan bicaranya untuk mendekat dan jatuh ke dalam perangkap.

"Nggak. Aku cuma jalan santai, itu saja."

Jawaban dari laki-laki di sebelahnya membuat Dantalion mengalihkan pandangannya kembali ke depan. Ia tidak terlalu bisa membaca suara Belial, apa anak itu sebenarnya ingin sendirian? Apa Dantalion harus pergi saja? Semua dugaan tampak masuk dari telinga kanan dan keluar lewat telinga kirinya, hanya berputar di otak tanpa dicerna. Tanpa memikirkan hal lain pun, Dantalion memiliki kabutnya sendiri.

INFERNO: The Lost PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang