Gelap dan Lembab. Hanya itu yang bisa digunakan untuk mendeskripsikan lorong sempit yang sedang mereka lewati.
Setelah selesai istirahat dan mengeringkan pakaian (saat pengeringan celana benar-benar terjadi drama besar), mereka berjalan ke arah tengah kastil yang ternyata benar terdapat sebuah pintu. Uniknya pintu tersebut tidak terlihat aneh, layaknya sebuah pintu normal? Mungkin agar tidak menarik perhatian.
Gusion segera berkomat-kamit seperti membaca mantra, lalu di atas tangannya terdapat sebuah kunci emas berkilau (pemberian Lucifer atas kontrak perjanjian waktu itu) yang ia gunakan untuk membuka pintu.
Seperti yang telah Lucifer katakan, Gusion adalah salah satu pangeran yang pikirannya jauh ke depan. Siapa sangka ucapan "Kalau begitu, Tuan Lucifer. Saya meminta akses penuh ke Judecca." akan berguna sekarang?
Dan disini lah mereka sekarang, dengan tubuh yang sudah kering dari atas sampai bawah, berjalan entah sudah berapa menit ke lorong yang sepertinya tidak ada ujung ini. Berkat obor yang dibuat Belial, setidaknya mereka memiliki sedikit penerangan.
"Becek..." keluh Morax, samar-samar melihat sepatu hitamnya kini berlumpur. Suara langkah kaki mereka yang bertemu dengan tanah basah di sana benar-benar membuat mereka tidak nyaman. Yah, gak bisa disalahkan juga karena mereka selama ini tinggal di istana dan dimanjakan, tidak pernah mengerjakan sesuatu yang menjijikkan sendirian?
"Banget. Setelah pulang dari sini aku mau spa," balas Halphas, ikut merasa jengkel karena bagian bawah celananya ikut terciprat. Belial mendengar gerutu teman-temannya dengan cuek, memikirkan harus kemana mereka selanjutnya. Sampai kapan lorong ini berlanjut?
"Ada yang tahu dimana Barbatos berada? Kita tinggal cari dia dan pulang," tanya Belial.
"Dia seharusnya ada di penjara bawah tanah. Tempat yang lebih rendah dari ini, mungkin kita harus turun nanti. Tapi ini benar-benar gelap, kita harus berhati-hati," Eligor menjawab sembari melirik kanan dan kiri. Batu yang kini berwarna kehitaman disertai lumut-lumut, tidak kalah licin dengan jalan yang sedang mereka lalui.
Belial berjalan paling depan dan Gusion paling belakang untuk berjaga. Obor hanya dipegang oleh Belial, terimakasih pada Eligor yang menciptakan kayu untuk ia bakar.
"Hm?" gumam Belial, memperhatikan apinya. Api tersebut bergerak. Bukan, memang biasanya api bergerak, tapi kali ini gerakannya seperti tertiup angin. Ia berhenti berjalan, membuat pangeran di belakangnya menabrak punggungnya.
"Ah, maaf, Belial. Ada apa?" tanya pangeran berambut biru di belakangnya dengan khawatir.
"Tunggu sebentar. Eligor, boleh tolong pegang ini dulu? Aku akan memeriksa ke depan," ucap Belial, menyerahkan obor tanpa menoleh sedikit pun. Ada angin dari depan, berarti jalannya semakin luas. Apa mereka telah tiba di akhir lorong? Eligor menaikkan satu alis dengan bingung, namun mengambil obor itu.
"Kamu yakin? Sebaiknya kita periksa bersama. Aku akan menemani—,"
"Tidak perlu. Biar aku saja, hanya sebentar," balas Belial cuek, melambaikan tangannya dan membuat api lain sebagai penerangan. Semakin lama, punggung laki-laki tersebut semakin tidak terlihat, ditelan kegelapan.
Belial merasakan hawa yang tidak enak. Entah karena suasananya sangat gelap dan mencekam atau karena hal lain. Tapi selama yang ia pelajari, Judecca hanyalah sebuah penjara, tidak lebih dari itu. Pengamanan Judecca juga sangat ketat sehingga seharusnya tidak ada monster di sini. Hanya para tahanan tidak berdaya dan beberapa hellbeast penjaga. Lucifer yang pernah dikurung disini saja tidak bisa kabur, kok? Seharusnya aman total!
Belial menapakkan kakinya dengan hati-hati pada tanah yang licin. Dugaannya benar. Lorong telah berakhir, dan Belial tidak bisa merasakan kanan dan kirinya lagi. Ia kini berdiri di atas setapak tanah yang sempit seperti jembatan, dengan jurang menganga besar di kedua sisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
INFERNO: The Lost Prince
Fantasy[END; DILENGKAPI DENGAN ILUSTRASI DI BEBERAPA CHAPTER] "...Mustahil. Pangeran itu, sudah tewas ratusan tahun yang lalu!" Tidak ada yang menyangka bahwa karya wisata itu akan membawa malapetaka. Belle Vierheller, seorang murid SMA yang bisa dikataka...