"Mmh."
Erangan kecil pemuda berambut merah yang berada di kasur itu membuat dua iblis lainnya menoleh, satu masih di kasur, dan satunya lagi sedang menyeduh teh.
"Sudah bangun, Belle? Selamat pagi," sapa Leraye manis, kedua tangannya sedang memegang cangkir teh panas. Anak yang dipanggil itu membuka matanya perlahan, beradaptasi dengan cahaya di sana.
Kain seprai putih yang halus, bantal empuk, selimut tebal, piyama merah dengan motif bebek. Belial mengucek matanya untuk menghilangkan rasa kantuk, kemudian punggungnya merasakan sentuhan lain dari belakang. Anak yang terkejut segera memajukan tubuhnya kemudian menoleh ke belakang.
"...? Pagi," sapa Satan dengan bingung, tangannya memegang sebuah buku bacaan. Raja itu mengenakan pakaian tidur berwarna putih, rambut merah panjang digerai, serta wajah baru bangun. Lengan Satan yang kekar nampaknya terus bergesekan dengan punggung si anak.
Iya, mereka bertiga tidur satu kasur. Semuanya ide Leraye yang bilang ia rindu tidur bersama putranya, yang kemudian diiyakan Satan. Akhirnya mereka hanya memesan satu kamar dengan kasur yang cukup luas, suka agak lupa kalau anak mereka sudah dewasa. Bonus, Satan dan Leraye sama-sama memeluk Belial saat tidur.
"..." Belial tampaknya masih loading, kemudian matanya mengarah ke jam dinding. Pukul 8 pagi. Kalau berdasar rencana mereka, masih ada waktu sekitar dua belas jam sebelum keberangkatan. Mungkin ia bisa menggunakan sisa waktu ini untuk bermanja-manja dengan orangtuanya?
"Mau teh? Phenex tadi bawa ini, tinggal diseduh," tawar Leraye, ratu itu kini duduk dan mengelus bahu anaknya. Belial mengangguk, sebelum membenamkan kepalanya kembali pada bantal.
"Mana ada habis bilang iya mau teh kembali tidur lagi," tegur Satan, membalikkan halaman bukunya. Belial menolehkan kepalanya dan menatap lesu, tidak mengubah posisi tubuhnya.
"Sepertinya aku kebanyakan minum semalam..." gumam Belial pada Satan tanpa berpikir, memohon agar dimaklumi. Satan justru menyipitkan mata.
"Minum? Bocah sepertimu?" tanya Satan seram. Belial yang tampaknya belum sepenuhnya sadar hanya menganggukkan kepala. Tidak lama kemudian, Leraye kembali membawa secangkir teh dan kipas untuk mengetuk kepala sang anak.
"Lagi? Belle, mama sudah bilang kemarin. Tahu batas itu penting. Beruntung kamu gak muntah-muntah semalam," omel Leraye sambil memukulkan kipas pada kepala Belial, membuat anak itu terbangun dan duduk.
"Tehmu," lanjut Leraye, memberikan Belial secangkir teh. Anak itu tidak berkutik apa-apa, wajahnya sangat menggambarkan orang yang baru bangun dan tidak bisa memusatkan fokusnya. Belial dengan perlahan menyeruput teh yang diberikan sedikit demi sedikit, selagi membangunkan tubuh dengan sepenuhnya.
"Ah..."
Konsentrasi secara perlahan mulai masuk alam sadarnya, sekaligus mengingat apa saja yang terjadi kemarin. Sakit kepalanya sembuh oleh Eligor, digendong Satan, nangis karena galau, diajak dansa sama jamet Jakarta, nangis lagi, main billiard dengan Lucifer, bertemu orangtua lagi, jalan bersama Ronove ke aula, melihat Astaroth dan Morax ciuman, makan Nasi Padang, briefing untuk hari ini, lalu kembali ke kamar. Ia menggaruk kepalanya, banyak sekali yang terjadi kemarin.
Oh iya, benar. Main billiard dengan Lucifer. Jantung Belial terasa ingin loncat begitu mengingat apa yang Lucifer katakan.
"Baumu, bukan bau Gabriel, Belial. Ada adikku lagi yang lain, yang pasti sangat dekat, jauh lebih dekat denganmu ketimbang Gabriel."
KAMU SEDANG MEMBACA
INFERNO: The Lost Prince
Fantasi[END; DILENGKAPI DENGAN ILUSTRASI DI BEBERAPA CHAPTER] "...Mustahil. Pangeran itu, sudah tewas ratusan tahun yang lalu!" Tidak ada yang menyangka bahwa karya wisata itu akan membawa malapetaka. Belle Vierheller, seorang murid SMA yang bisa dikataka...