Chapter 83: Nox, Lux, dan Iris

65 10 0
                                    

"Haaaaah," hela Solomon lelah, sudah berapa lama ia berjalan? Helaan itu terdengar ke sosok yang berjalan di urutan kedua, membuat malaikat berambut sebahu itu melirik sinis sambil menutup mulut dengan kipas.

"Manusia lemah," komentar Uriel pelan (tapi cukup bagi Solomon untuk mendengarnya), ia memejamkan mata sembari mengikuti kemana Raphael di depannya berjalan. Sementara itu, Olivia di baris ketiga tampak sangat tenang.

"Bilang apa kau tadi? Malaikat sialan. Siapa yang membuat aku dan ibuku JALAN SEKIAN KILOMETER SAAT JAM 12 SIANG? Pakai jubah gelap panas pula. Aku belom solat zuhur," omel Solomon, melanjutkan keluhannya.

"Kalau kamu mau solat kita bisa minggir dulu. Bisa dimana aja kok. Ada Uriel, semua tempat bisa ia sucikan," balas Raphael, menoleh ke belakang. Solomon memicingkan mata.

"Malaikat kesucian yang hobi nyinyir itu? Tidak, terimakasih," tunjuk Solomon dengan kesal pada Uriel.

"Ada kesempatan untuk beribadah dan kau menolaknya. Manusia... memang kau sendiri yang tidak mau. Hah, semoga kau mendapat ampunan," celoteh Uriel, bersama mereka berdua membuat "Duo Adu Bacot Maut".

"Oh ya, Solomon. Soal jubah, kalian sendiri yang menentukannya. Kami gak masalah kalian berangkat cuma pakai sarung dan daster pun," tambah Raphael. Solomon melirik ke arah ibunya.

"Jubah ini bisa dibilang hanya dimiliki beberapa penyihir. Kalian tau? Fraksi penyihir hitam dan penyihir putih yang paling populer," tawa Olivia kecil, sedikit mengingat masa lalunya sembari berjalan menanjak.

"Tentu, kami mengetahui dasarnya. Saya yakin begitu pula pada para iblis, ini pengetahuan dasar mereka. Namun jika anda berkeinginan untuk bercerita, Nyonya Olivia. Kami persilahkan," jawab Raphael dengan senyum manisnya, membuat wanita tua itu kembali terkekeh. Ia sangat suka dengan pria yang gentle.

Mereka berjalan di tepi jalan yang kini menanjak, mulai jauh dari perkotaan. Berdasarkan instruksi Raphael, mereka semua harus pergi ke tempat yang sepi untuk membuka portal ke Jinnestan (entah kenapa?).

"Sejak dahulu kala, penyihir merupakan salah satu 'ras' yang seringkali dibedakan dari manusia biasa. Padahal kami juga manusia, hahaha. Sewaktu aku masih belajar menjadi penyihir, seringkali terjadi fenomena Witches Hunt. Perburuan penyihir di mana mereka yang tertangkap akan dipasung, dihukum mati di depan keluarga mereka sendiri karena dipercaya menjalin kontrak dengan iblis," cerita Olivia, melirik anak di belakangnya.

"Itu kejam sekali. Padahal tidak semua penyihir menjalin kontrak dengan iblis. Banyak penyihir putih yang berniat baik, sering membantu, bahkan menolong warga yang terinfeksi wabah. Tapi orang awam tidak tahu cara untuk berterimakasih dan kembali mencemooh mereka begitu sembuh. Konyol memang, manusia zaman dahulu," komentar Solomon, menyilangkan lengan di depan dada.

"Semua manusia masih terlihat konyol hingga sekarang," gumam Uriel pelan, mendapatkan tatapan menyebalkan dari Solomon lagi.

"Setelah tragedi tersebut, ratusan penyihir memutuskan untuk bertemu demi membicarakan permasalahan yang terjadi. Satu pihak mengusulkan bahwa sebaiknya mereka membinasakan semua manusia di sana dan didukung hampir sebagian dari banyaknya penyihir yang berada di tempat tersebut, sementara satu berpihak pada kebaikan hati untuk tetap membujuk dengan damai. Dengan keputusan yang hampir 50:50, mereka semua berseteru tanpa hasil yang memuaskan. Sejak itu, penyihir terpecah menjadi dua fraksi."

"Fraksi Nox dan Lux. Kalian berdua adalah penyihir gelap yang berasal dari fraksi Nox," potong Uriel cepat, mendapat anggukan dari dua penyihir di belakangnya.

"Fraksi kami, para penyihir Nox adalah penyihir yang menjalin kontrak dengan iblis. Fraksi kami pula yang menyetujui usulan untuk balas dendam dengan cara pembunuhan. Darah dibayar darah, nyawa dibayar nyawa. Nox memiliki prinsip seperti itu, berkebalikan dengan fraksi Lux."

INFERNO: The Lost PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang