"Kamu... masih hidup."
Suara tersebut terdengar, entah. Mungkin bahagia? Lega? Lelah? Mungkin campuran ketiganya. Suasana antara keduanya terasa begitu tegang, hingga sosok wanita di sana memutuskan untuk menghangatkan keadaan kamar tersebut.
"Masih, Barry! Apa kabar?"
Barbatos merasakan wajahnya memerah mendengarnya. Rasanya sama seperti ratusan tahun lalu. Seorang penyihir wanita yang sangat riang selalu menemani hari-harinya selama bertahun-tahun. Barbatos tersenyum tipis.
"Baik. Banyak yang berubah, ya?"
Pertanyaan Barbatos saat itu terdengar sedih, meski maksudnya bukan begitu. Jelas, sepasang kekasih yang dipisahkan oleh takdir, pertemuan yang diakhiri dengan kata 'aku mencintaimu'. Rentetan kejadian setelahnya terasa begitu berat, terutama pada Barbatos. Namun layaknya seorang pria yang memegang janji, ia tidak akan pernah mengingkarinya.
Kalau diberi pertanyaan, apakah ia masih mencintai Olivia? Jawabannya adalah 'selalu' dan tidak akan berubah.
"Banyak yang berubah padaku. Namun tidak pada Barry. Lucu, ya. Aku di sini menua dan sudah jadi nenek-nenek. Sementara Barry masih sama dengan terakhir kali kita bertemu," tawa Olivia, kembali mengingatkan Barbatos pada kenangan manisnya.
Begitu Barbatos mendengar kehadiran Solomon, Barbatos paham segalanya dan memaklumi apa yang terjadi. Olivia kehilangan separuh mananya dan... menjadi manusia 'biasa'. Ia melemah dan menua. Barbatos sangat paham dengan dunia sihir, jadi ia bisa menyimpulkan. Solomon bisa hidup abadi karena kekuatannya masih penuh. Olivia awalnya bisa hidup abadi, namun ia melakukan sihir terlarang dan kini hanya menunggu waktu sampai ajal menjemputnya.
"Hahaha. Ya begitu, lah. Aku lihat kau sudah punya anak dan cucu. Agak rumit ya. Aku harap suami dan menantumu tidak ikut terseret ke masalah ini," tawa Barry, berusaha menghilangkan rasa sakit di hatinya. Olivia mengibaskan tangan.
"Ah... Suamiku aman. Menantuku juga seorang penyihir putih," jawab Olivia, membuat Barbatos melebarkan matanya.
"Para penyihir benar-benar mengagumkan! Mereka selalu bisa menjaga populasi mereka. Wah, hebat. Tidak seperti iblis yang berlaku sesuka mereka," ujar Barbatos antusias. Dari dulu, rasa keingintahuannya pada manusia memang sangat tinggi.
"Tentu saja! Manusia tidak memiliki hidup yang panjang seperti kalian. Melanjutkan generasi itu sudah seperti kewajiban di dunia manusia. Umumnya dimulai pada usia dua puluh sampai empat puluh... Gak seperti iblis yang berlaku semena-mena dan baru punya anak setelah ribuan tahun, haha!"
Barbatos menyilangkan lengan, ia tersenyum heran.
"Benar juga. Ribuan tahun aku hidup, aku bahkan belum punya pasangan sekarang. Padahal sepupu jauhku sudah punya dua anak," pikir pria itu, membayangkan keluarga kecil Belphegor. Kalau saja istrinya masih ada, mungkin Belphegor akan punya lebih banyak anak karena dia tipe pria yang sayang anak.
"Mmhm. Tidak usah dipaksakan, Barry," komentar Olivia, membuat Barbatos meliriknya. Andaikan Olivia tidak berstatus sekarang, mungkin Barbatos sudah memeluk atau menciumnya daritadi.
"Aduh, bangsawan sepertiku dinasihati oleh seorang manusia fana," gerutu Barbatos, ia menepukkan dahinya sambil bercanda. Olivia terkekeh.
"Kamu tahu, Barry? Kita bertemu lagi. Takdir memisahkan kita dan mempertemukan kita kembali."
Takdir. Ya, takdir. Olivia selalu percaya dengan yang namanya takdir.
"Manis."
"Ng?" Olivia menolehkan kepalanya untuk menatap pria tersebut. Barbatos tersenyum sangat tulus.

KAMU SEDANG MEMBACA
INFERNO: The Lost Prince
Fantasy[END; DILENGKAPI DENGAN ILUSTRASI DI BEBERAPA CHAPTER] "...Mustahil. Pangeran itu, sudah tewas ratusan tahun yang lalu!" Tidak ada yang menyangka bahwa karya wisata itu akan membawa malapetaka. Belle Vierheller, seorang murid SMA yang bisa dikataka...