"Mana, ya... Hoam... aku ngantuk," celoteh Morax sambil menguap, tangannya menggeratak ke sana kemari mencari benda yang ia cari. "Ah, ketemu!"
Jari jemari milik laki-laki itu menelusuri lembar demi lembar halaman buku laporan penelitiannya, sementara 3 anak lainnya sedang celingak-celinguk dengan set piyama tidur mereka (minjem, sih. Untungnya Morax punya banyak baju tidak terpakai).
Belial melirik ke arah dinding yang diselimuti wallpaper biru tua dan biru muda dengan motif khas. Rak-rak penuh buku menjulang tinggi, menutupi sebagian ruangan, namun tetap tampak luas dan nyaman. Jam kayu besar yang ada di ruangan itu berdenting, memberi informasi bahwa sekarang sudah pukul jam 11 malam.
Menurut Belial, hawa dari istana Lust menuju Sloth sangat berbeda, istana Asmodeus tampaknya sangat cerah, dominan putih dengan marmer-marmer, sementara istana Belphegor didominasi warna gelap seperti ungu dan biru.
"Bagaimana?" tanya Astaroth, rambut silvernya yang tampak senada dengan pakaian malam tidurnya itu berkilau mendapat cahaya dari lampu yang bersinar beberapa meter di atas mereka. Astaroth melandaskan lengan kirinya pada meja tempat Morax membolak-balik halaman buku, sementara Dantalion meyilangkan lengan di sebelahnya.
"Oke. Pertama, hasil penelitianku terlebih dahulu," jawab Morax mantap, tangannya merogoh sesuatu dari sebuah pouch. Belial menyipitkan matanya.
"Ugh... Apaan tuh? Kaca? Gak terlalu kelihatan," tanya Belial, memajukan posisinya untuk mendekat. Morax mengangguk cepat. "Benar pecahan, mirip ya? Lebih tepatnya, ini pecahan dinding dimensi."
Ketiga iblis di belakang anak itu melirik satu sama lain. Dimensi? Darimana Morax mendapatkannya?
"Kalian ingat, waktu kalian berdua terjebak di dimensi saat karya wisata? Ada Zagan dan Irvine serta teman manusia kalian juga, tapi ternyata ada klon yang menggantikan?" tanya Morax, membalikkan kursi rodanya untuk menghadap yang lain.
Oh, iya... Belial ingat persis saat itu, saat pertama kali ia menggunakan kekuatannya untuk bertarung. Bocah berambut merah itu mengangguk disusul yang lain.
"Setelah rapat Stygian, aku menghampiri ujung dari Lapsae Caelum karena menduga di sana adalah tempat pertukuran Zagan dan Irvine dengan klon mereka. Dibandingkan tempat lain, wilayah tersebut merupakan titik yang lemah dan paling rentan terjadi gangguan dimensi. Cocytus sudah dieliminasi dari awal karena teritorinya di bawah air tidak memungkinkan bagi manusia untuk turun di sana, meskipun Cocytus lebih tipis dibanding ujung Lapsae Caelum," jelas Morax panjang lebar.
Belial meletakkan jari pada dagunya dan berpikir, gila, anak ini pinter banget.
"Oke, dapat dimengerti. Bisa diasumsikan bahwa kau akhirnya mendatangi wilayah itu dan memecahkan dinding dimensi yang ternyata memang masih ada itu. Jadi bagaimana dengan hasil penelitiannya?" tanya Dantalion, mengkonfirmasi. Morax memejamkan matanya, kemudian berbalik memunggungi ketiga kawannya itu.
"Benar, aku memecahkan dindingnya dan mengambil sampel untuk penelitian. Dan... ini hasilnya."
Morax menyalakan sebuah—entah apa itu, terlihat sangat asing di mata yang lain, mungkin lampu khusus? Cahayanya berwarna biru, menerangi serpihan-serpihan dimensi yang kini tergeletak begitu saja di atas meja mewah itu.
"Perhatikan baik-baik. Kuharap kalian tidak melupakan pelajaran ilmu dasar mengenai dimensi," suruh Morax, menggerakkan lampunya untuk fiksasi.
Belial memandang serpihan itu dengan saksama, berusaha melihat ada atau tidaknya anomali di sana. Dantalion dan Astaroth, sama halnya, ikut menundukkan kepala untuk melihat lebih jelas. Dantalion angkat bicara, "Ini..."
Morax memiringkan kepalanya, menunggu tebakan dari salah satu temannya itu. Wajah Dantalion tampak sangat serius. Tidak lama, Dantalion membuka mulutnya. "Ini keren banget, tapi aku gaktau apaan ini." Kalau Morax memiliki temper yang buruk, bisa saja Dantalion sudah melayang keluar dari jendela.
KAMU SEDANG MEMBACA
INFERNO: The Lost Prince
Fantasy[END; DILENGKAPI DENGAN ILUSTRASI DI BEBERAPA CHAPTER] "...Mustahil. Pangeran itu, sudah tewas ratusan tahun yang lalu!" Tidak ada yang menyangka bahwa karya wisata itu akan membawa malapetaka. Belle Vierheller, seorang murid SMA yang bisa dikataka...