Arc 12: A Dream and A Hope, Buried in World of Mirrors
Arc 12: Sebuah Mimpi dan Harapan, Terkubur dalam Dunia Cermin
"Yang pink sama kayak rambutnya, yang biru cocok karena mata dan rambutnya juga ada warna biru... tapi warna merah juga cocok buat nandain itu pemberian dariku. Yang mana ya..."Gumaman kecil itu lepas dari bibir Belial selagi ia menunduk, memperhatikan tiga liontin dengan warna permata yang berbeda di atas kaca etalase.
"Morax, menurutmu bagusan yang mana?" tanya Belial, mulai menyerah karena bingung. Laki-laki di sebelahnya ikut menunduk dan berpikir.
"Hm... Pacarmu sepertinya pakai yang mana saja cantik, sih."
"Woi! Gak bisa lebih lambat lagi?!" omelan itu terdengar dari belakang mereka berdua, membuat Belial mendecak. Dantalion menggerutu, di tangannya terdapat tumpukan kotak-kotak berisi tas dan sepatu wanita yang sampai menutupi wajahnya.
"Ah, ya sudah. Aku beli tiga-tiganya," hela Belial, menyodorkan kartunya pada seorang staff di sana.
"Gila, kau gak tau itu harganya berapa?!" tanya Gusion kaget, mendekat dengan beberapa kantung belanja isi pakaian wanita di tangannya. Belial mengangkat kedua bahu, mengisyaratkan: entah, tinggal bayar.
"Orang kaya memang beda," komentar Gusion takjub begitu Belial menerima perhiasannya, ia menggelengkan kepala melihat Belial dengan cuek berjalan keluar tempat tersebut. Dantalion menatap Gusion aneh: gak salah ngomong tuh dia?!
"Asta, butuh bantuan?" tawar Morax halus, domba itu berlari kecil ke sisi pacarnya yang ikut menjadi korban Belial. Sama seperti Dantalion dan Gusion, tangan pangeran itu penuh!
Astaroth tersenyum dan menggeleng kecil, berusaha menahan gemas karena melihat tingkah Morax sebelumnya.
"Tidak usah, pangeranku. Kasihan tanganmu yang halus itu," jawab si cowok kepedean itu sambil mengedipkan satu mata, membuat ekspresi Morax menjadi datar. Untungnya udah kebal... jadi Morax cuma memeluk lengan kekasihnya sebagai respons.
"Halooo, Pangeran Belial. Sampai kapan kami harus menemani anda belanja kebutuhan untun istri anda, ha?? Ini gak ada di rencana awal kita!" tanya Dantalion, memiringkan kepalanya ke kanan dan kiri untuk mencari celah melihat.
"Pacarku lagi ngambek, Dantalion. Aku harus cari cara supaya dia senang lagi. Ini udah cukup, belum ya...?" ujar Belial ragu, ia memutar balik tubuhnya untuk melihat—ada berapa—37 kantung dan kotak belanja?
"SUDAH CUKUP ATAU BELUM, TANYANYA!" seru Astaroth, Dantalion, dan Gusion berbarengan, ketiganya terdengar sangat lelah (pegal bro).
"Lebih dari cukup, Bel. Nona Jophiel pasti akan senang," jawab Morax sambil tertawa kecil, berusaha meyakinkan Belial hingga anak berambut merah itu mengangguk.
"Oke kalau begitu. Kita ke tempat kereta kuda berada, masukkan barangnya, lalu cari pangeran yang lain. Setelah itu kita baru jalan," usul Belial, mulai berjalan tanpa persetujuan.
"Anak itu benar-benar!" gerutu Gusion, cengo namun tidak bisa berbuat apa-apa.
Bagaimana mereka berakhir jadi babu Belial seperti ini? Awalnya, mereka ditugaskan Jophiel untuk mengumpulkan koneksi petarung yang ada di Jinnestan sebagai bala bantuan untuk perang nanti.
Mengingat pasukan Seraphim ada sangat banyak membuat jenderal itu memutuskan untuk menarik entah ksatria, tentara, atau pembunuh bayaran, intinya yang bisa membantu untuk berperang.
Rencananya, mereka akan berkumpul di sebuah bar malam ini. Tempat yang sangat ramai oleh iblis, sekaligus tempat yang sempurna untuk bisnis gelap, bukan? Awalnya begitu. Namun berkat kecerobohan Belial, pasangan itu jadi bertengkar kecil dan berujung ke Jophiel yang merengut sampai sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
INFERNO: The Lost Prince
Fantasy[END; DILENGKAPI DENGAN ILUSTRASI DI BEBERAPA CHAPTER] "...Mustahil. Pangeran itu, sudah tewas ratusan tahun yang lalu!" Tidak ada yang menyangka bahwa karya wisata itu akan membawa malapetaka. Belle Vierheller, seorang murid SMA yang bisa dikataka...