Chapter 39 : Dia, Yang Selama Ini Bersembunyi

85 14 0
                                    

"Aku akan menganggap seluruh kisah yang kalian ceritakan itu benar adanya, menilai dari situasi yang baru saja terjadi. Katakan, bocah-bocah. Apa kalian merasa sakit atau tidak enak badan setelah kontak dengan malaikat agung itu?" tanya Belphegor, menopang dagunya dengan kedua tangan.

"Tidak lebih dari apa yang sudah disampaikan, Tuan Belphegor. Saya merasa waktu di sekeliling saya kian melambat, sebelum makhluk itu memerintahkan untuk tidur. Detik berikutnya yang saya sadari, saya terbangun dari pingsan dengan kepala yang terluka," jawab Belial, membaca raut wajah Belphegor. Kalau benar Gabe temannya adalah seorang malaikat, kenapa tega sekali?

"Sama dengan saya, Ayahanda. Tidak terjadi pertarungan sama sekali, dan saya tidak terluka. Namun ketika malaikat itu pergi, dada saya menjadi sesak dan saya tidak bisa merasakan kaki saya sendiri. Tidak lama kemudian saya berada di kamar dengan sakit kepala ringan," lanjut Morax, mengingat-ingat kejadian yang ia alami.

Dantalion menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa kain berwarna biru itu, sedikit bergumam, 'buset, formal amat.' Belphegor menyorotkan matanya pada kedua sosok lainnya. "Apa ada saksi mata tambahan?" tanya pria dewasa itu, suaranya menunjukkan bahwa ia memiliki banyak sekali hipotesa.

"Dari yang saya dengar, sudah akurat dengan apa yang saya lihat dengan kepala mata saya sendiri, Tuan Belphegor," jawab Astaroth, melirik Dantalion tajam. Bocah itu meneguk ludahnya sendiri dan tersenyum pahit, ikut mengangguk.

Belphegor menghela napasnya, menatap ke arah jendela.

"...Kita masih aman... setidaknya untuk saat ini," ujar raja dari rasa malas tersebut. Ia menolehkan kepalanya kembali untuk menatap 4 anak laki-laki yang duduk manis di hadapannya. Belial sebenarnya sedikit kesal dengan Belphegor yang tidak memberi mereka jawaban apapun, seperti ia hanya diperas lewat tanyajawab untuk memuaskan rasa penasaran seorang.

"Ada yang ingin kalian diskusikan?" tanya Belphegor, merasakan sepasang mata merah itu menatapnya dengan tajam.

Jujur saja, raja itu, masih tidak menyangka dengan eksistensi pangeran yang hilang. Sewaktu ia mendobrak pintu dan menghancurkan sebagian perpustakaan (yang sekarang lagi dibenerin, deh...), Belphegor tidak mengetahui harus fokus kemana, fakta bahwa ada energi malaikat di sana, anaknya yang tampak lemas, atau bocah yang ia tidak duga kedatangannya. Mau dibilang ngada-ngada juga tidak bisa, ya. Anak ini mirip banget sama Satan...

"Kami punya banyak hal untuk ditanyakan, sehubung Anda adalah seorang raja yang berwawasan luas. Saya harap Anda tidak keberatan, Yang Mulia?" balas Belial, menerima tawaran Belphegor tanpa menunggu sedikitpun.

"Silahkan," jawab Belphegor singkat.

"Gabe itu siapa?" tanya Morax singkat, padat, dan jelas. Ia mendengar ayahnya kerap menyebut nama itu, Gabe, malaikat agung... Memangnya siapa, sih? Belphegor menghela napas, padahal ia ingin menjauhi topik ini.

"Gabriel, malaikat agung," jawab raja itu cepat, menyeruput kopi hangatnya. Ekspresi keempat pangeran di hadapannya bak mengatakan Najis, pelit amat! secara bersamaan.

"Apa boleh kami mendengar cerita dengan lebih mendetail, Tuan Belphegor? Karena saya dan Belial memiliki teman bernama Gabe, dan rupanya anak itulah yang membuat Belial pingsan," pinta Astaroth, mendesak Belphegor. Namun, hal tersebut hanya menghasilkan penolakan lainnya.

Gabriel, cara kerjanya masih sama aja...

"Kalian belum cukup umur. Pembelajaran mengenai malaikat hanya disampaikan ketika seorang pangeran akan dinobatkan menjadi raja. Dantalion, jangan coba-coba gunakan kekuatanmu padaku. Tidak akan berhasil."

"Hik!" seru Dantalion kecut, sedikit menggerutu.

"Ayah, aku mohon. Sekali saja. Negeri ini berada di ujung tombak, bagaimana dengan rakyat nantinya?!" seru Morax, yang tampaknya agak didramatisasi (kelihatan dari ekspresinya, gak jago acting). Sang Ayah masih tampak cuek.

INFERNO: The Lost PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang