Chapter 99: Kita Keluarga, Kan?

71 8 1
                                    

Solomon berkonsentrasi sebelum tangannya terangkat setengah, merapal mantra untuk melepaskan rantai-rantai yang mengunci Zadkiel.

PRAANG!!

"Zadkiel," panggil Michael, ia berjalan mendekat ke arah adiknya yang terduduk lemas di kursi. Anak yang dipanggil hanya menatapnya serius.

"Ziel!" seru Jophiel, ia melambaikan tangan begitu mengidentifikasi pemilik yang dominan dalam tubuh itu.

Astaroth bertanya pelan, "Nama panggilannya? Kenapa tidak Kiel? Maksudku namanya kan Zad-Kiel." Belial meliriknya.

"Mereka dua orang yang berbeda," jawab laki-laki itu singkat, membuat Asta mengeluarkan "Hah?" lainnya.

"Adikku memiliki kepribadian ganda. Yang agresif adalah Kiel. Yang pendiam adalah Ziel. Tapi jangan sesekali coba katakan mereka berbeda di hadapannya. Mereka bisa marah," jawab Uriel, ia menatap lurus ke tengah ruangan, menampilkan Satan yang sedang menginterogasi Zadkiel.

"Saya sudah mendengar laporan dari putra saya," tegas Satan, ia menatap tajam Agares dan Zadkiel.

"Lalu?" tanya Agares, ia menaikkan kedua bahunya. Lucifer menyela,

"Zadkiel tidak ada kaitannya. Dia dikontrol oleh seseorang."

"Benar begitu, Tuan Zadkiel?" Suara Satan terdengar begitu berat dan dalam ketika ia menanyakan hal itu pada malaikat yang duduk di sana.

"..." Zadkiel menarik napas, ia merasa tubuhnya masih terlalu lelah bahkan untuk menjawab pertanyaan.

"Aku bertarung dengan diriku sendiri pagi dini hari tadi," jawab Zadkiel, membuat lainnya kebingungan.

"Aku! Aku bisa konfirmasi hal tersebut. Ziel dan Kiel bertukar beberapa kali dengan sangat cepat. Mereka seolah-olah berkelahi dengan sesuatu, namun karena tubuh mereka hanya ada satu, mereka saling bergantian," jawab Yofiel, ia mengangguk setuju atas jawaban Zadkiel.

"Lalu apa yang membuatmu berkelahi dengan dirimu sendiri?"

Ziel terpatung untuk sesaat, mengingat apa yang ia rasakan dini hari tadi. Sejujurnya, ketika ia bertarung dengan apapun itu yang membuat konflik dengan diri sendiri, ia merasakan...

Kasih sayang...

"Hangat," gumam Zadkiel pelan.

Jawaban itu membuat wajah Lucifer yang awalnya datar menjadi berurat, sorot matanya dipenuhi oleh kebencian. Auranya berubah menjadi gelap, seolah-olah dendam yang sudah lama ia miliki sedang mencari celah untuk keluar.

Pasalnya, Lucifer mengerti dengan betul. Apa yang dirasakan oleh Zadkiel—perasaan yang ia pernah miliki saat ia dijatuhkan dari surga. Ketika ia terpaksa harus mengkhianati adik-adiknya.

"Pfft, bangsat..." maki Lucifer sambil menahan tawanya, ia menggigit bibir sampai beberapa tetes darah berwarna ungu keluar dari sana.

Untuk sesaat, Satan dan raja lain yang hadir melalui hologram merasakan sebuah rasa takut—trauma yang pernah mereka lalui.

Jantung Satan terasa diremas dengan sangat kencang; ia teringat dengan momen ketika putranya hilang saat itu. Aura ini—aura yang menyebabkan perang besar di Jinnestan untuk melawan seorang kebajikan besar yang baru saja jatuh.

"Kak. Hentikan," suruh Camael, ia melirik sinis kakaknya. Naas, Lucifer terlalu sibuk dengan murkanya sendiri.

"Cecunguk itu... Apa aku saja tidak cukup..."

Kini tangannya mengepal dengan keras, hingga buku-buku jarinya berwarna putih. Kukunya membuat beberapa luka pada telapak putih tersebut.

Jangankan iblis, para malaikat di sana pun kebingungan dengan ucapan Lucifer. Mata Michael menyipit.

INFERNO: The Lost PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang