"Warlock?" tanya Belial, mendengar kata terakhir wanita itu. "Entah, kami juga tidak pernah mendengarnya," balas Astaroth. Suasana di taman sekarang sunyi, angin berhembus kencang. Rumput-rumput di bawah mereka hampir terbakar sebagian. Tidak menunggu lama, tubuh jasad ketiga penyihir itu berubah menjadi abu hitam tanpa sisa.
"Ah, sial. Kita harus sembunyi," batin Dantalion ketika mereka mendengar suara sirine polisi yang semakin lama bertambah keras. Ketiga anak itu berlari ke dalam gedung melalui pintu belakang, menuju ke tangga darurat.
"Tangga?! Yang benar saja?" tanya Dantalion. Belial menatapnya. "Apa orang lain tidak akan curiga melihat tiga anak berpenampilan aneh seperti kita dengan pakaian penuh darah, sedang berjalan santai dalam hotel?!" tanyanya balik. Dantalion menghembuskan napasnya, "Huf, iya juga. Ya sudah. Mau ke lantai berapa kita?"
Mereka berlari menyusuri tangga darurat, berusaha mengatur napas. "Lantai sepuluh! Kamar anak laki-laki berada di sana," seru Astaroth. "Hosh, Kamu kenapa tidak terbang saja dan bawa kami ke atas, hosh, Astaroth?" tanya Dantalion, ngos-ngosan.
"Gila kamu ya? Yakali aku terbang sambil bawa dua tubuh laki-laki dewasa! Lagipula ruangan di sini terlalu sempit bagiku untuk membentangkan sayap," jawab Astaroth, melanjutkan lari mereka. Dari posisi mereka sekarang, terdengar suara polisi yang sedang memeriksa tempat kejadian serta ingin melakukan interogasi pada pengunjung yang menginap. "Kita harus bergegas sebelum polisi-polisi itu mencapai lantai sepuluh," ujar Belial.
"Ya kalau itu sih, kamu gak usah bilang aku juga udah tahu," balas Astaroth. Mereka berlari dengan kencang. Sedikit lagi...
"Sampai! Buka pintunya!"
Astaroth yang berada paling depan langsung memegang gagang pintu, berusaha membukanya. "Mampus. Terkunci," ucapnya. Tanpa pikir panjang, ia membuka telapak tangannya, hendak membekukan lubang kunci pintu tersebut agar patah dan mereka bisa masuk.
"Tahan, Astaroth. Jangan ceroboh. Terlalu mencurigakan jika ada yang mematahkan gagang dan lubang kunci pintu dengan es. Kita harus ke bawah, masuk ke lantai kamar perempuan, cari lift dari sana dan bergerak ke lantai atas lagi. Ayo!" seru Belial, berlari ke bawah disusul teman-temannya.
"Pintu ini tidak dikunci!" ujarnya, kemudian membuka pintu tersebut. Sepanjang koridor hotel tidak ada orang, tampaknya suruhan Dantalion di awal tadi cukup efektif. Meski pada beberapa kamar ia mendengar ada suara perbincangan siswi lain yang menumpang karena takut.
Mereka berlari dengan berhati-hati agar suara sepatu mereka tidak bergema di koridor itu. Lift seharusnya tidak jauh, hanya perlu lurus dan belok kiri—
"Iya, saya juga mendengar laporan dari pegawai di lobby bahwa sudah dari kemarin terjadi ledakan beruntun. Pertama di gudang dan atap, lalu sekarang di taman. Ledakan kemarin mengakibatkan kerusakan besar pada daerah terdampak, namun malam ini tidak ada kerusakan yang parah, hanya beberapa rumput terbakar, mungkin karena api unggun yang menyebar," ucap seorang pria.
Mereka bertiga langsung bersandar ke dinding, tidak berani untuk belok ke arah kiri. Belial mengintip sedikit, melihat dua orang polisi dan Pak Wilson keluar dari lift. Pasti mereka akan melakukan pengecekan untuk lantai ini.
"Benarkah? Tapi terakhir kali kita memeriksa tadi, tumpukan kayu itu dilapisi es. Seperti mustahil, namun memang benar itu es. Bagaimana caranya kayu untuk api unggun tiba-tiba padam dan terlapisi es?" balas seorang lainnya.
Belial mengangkat tangannya dan menggerakkan jarinya, mengisyaratkan pada Astaroth dan Dantalion kalau mereka tidak bisa lewat sini. Ia segera jalan cepat ke arah yang berbalik, berpacu dengan waktu polisi dan guru itu tiba.
"Sst sst, hei!" bisik seseorang. Mereka bertiga menoleh ke asal suara, pintu kamarnya terbuka. "Olivia?" tanya Belial. Gadis itu meletakkan telunjuknya di bibir meminta mereka untuk tidak berisik dan membuka pintunya. Mereka melirik satu sama lain sebelum memutuskan untuk masuk ke dalam. Olivia menutup pintunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
INFERNO: The Lost Prince
Fantasi[END; DILENGKAPI DENGAN ILUSTRASI DI BEBERAPA CHAPTER] "...Mustahil. Pangeran itu, sudah tewas ratusan tahun yang lalu!" Tidak ada yang menyangka bahwa karya wisata itu akan membawa malapetaka. Belle Vierheller, seorang murid SMA yang bisa dikataka...