Arc 8: Unspoken Wish Upon the Frozen Land
(Arc 8: Harapan Tak Terucapkan di Wilayah Es)
"Aku Ramiel. Kalian semua tuli?" ulang Ramiel dengan geram, wajahnya entah mengapa menunjukkan kebencian karena teman-temannya di sana hanya bisa menatapnya heran, ada yang menganga, ada juga yang tampak berpikir keras. Tidak ada respons, Ramiel paling tidak suka bila orang lain mendiamkannya. Sedang apa mereka, merendahkanku?
"Gak salah sih, kami semua memang tuli beberapa menit lalu. Ini baru sembuh," jawab Dantalion, ikut kesal mendengar Ramiel. Wajahnya saja cantik, kelakuannya sangat menyebalkan!
Pangeran dari dosa besar keangkuhan tersebut menghela napasnya kemudian berdiri, berusaha berjalan menjauhi mereka.
"Hoi! Mau kemana, bodoh? Gak sadar kamu tadi pingsan kenapa? Di sana cuma ada laut!" seru Gusion lantang, membuat Ramiel menoleh.
"Bodoh? Siapa yang kau panggil bodoh? Hah, hahaha! Siapa memangnya kamu berani-beraninya merendahkan aku?!" tawa pangeran itu, tangannya ia letakkan di kerah kemeja Gusion untuk menariknya. Belial tersadar akan sesuatu begitu mendengar kalimatnya. Gaya bicaranya sangat persis dengan Lucifer.
Gusion hanya menatap laki-laki itu dengan ekspresi dingin dan tegas, cukup mengintimidasi bagi seseorang yang sering bergurau seperti Gusion. Mata merahnya tampak menyala di bawah sinar rembulan, tidak menunjukkan rasa takut atau belas kasihan sedikit pun.
"Gusion, putra sulung greed. Ada pertanyaan lain?"
Ramiel melepaskan cengkramannya dan berpikir untuk sesaat.
Greed? Bukankah itu salah satu dosa besar? Kalau begitu sosok anak laki-laki lainnya yang di sini itu juga dosa besar?
"Di dunia ini, ada tujuh bangsawan iblis terkuat. Mereka disebut dengan tujuh dosa besar, atau Seven Deadly Sins. Mereka akan meneruskan titel itu pada keturunan mereka. Dan kau, bocah, adalah penerus dari dosa besar Pride. Mengerti?"
"Ramiel mengerti! Apa itu berarti Ramiel anak ayah?"
Pertanyaan itu membuat Lucifer menunjukkan wajah jijik.
"Kau tidak lebih dari medium bagiku untuk memindahkan jiwa dan hidup selamanya."
Ramiel meneguk ludahnya sendiri mengingat apa yang ayahnya—Lucifer ceritakan padanya ratusan tahun lalu. Apa, ayah? Bodohnya ia untuk mengenalkan diri sebagai putra Lucifer!
"Bagaimana? Sudah sadar sedang bicara dengan siapa?" tanya Morax, menyilangkan kedua lengan di depan dada. Ramiel hanya memutarkan bola mata.
"Wah, angkuh sekali. Hahaha! Kalau sifatnya seperti ini, aku percaya dia anak Lucifer. Seperti pinang dibelah dua," komentar Halphas dan Malphas, tertawa mengejek bersamaan. Ramiel hanya melirikkan mata dengan tajam. Gak masalah, dia sudah sering mendengar hinaan yang jauh lebih kejam dari itu.
"Kami punya banyak pertanyaan untukmu. Tapi apa kamu bisa membuktikan terlebih dahulu pada kami bahwa apa yang kau katakan itu benar adanya?" tanya Belial, meminta kejujuran Ramiel. Mereka semua berharap pemuda sebaya bermata ungu itu setidaknya mengeluarkan agate untuk menunjukkan bahwa ia punya kekuatan bangsawan, tapi...
SRAAAK
"...!"
"Apa ini cukup untuk membuat kalian percaya?" tanya Ramiel dengan tidak suka.
Semua yang ada di sana diam terkesima. Ramiel memang terlihat sangat menarik dengan tubuh tinggi, kulit pucat, dan ototnya... Ditambah lagi wajahnya yang sangat cantik, rambut hitam agak panjang dengan mata ungu lentik yang serasi. Akan tetapi, ada yang lebih menarik: empat sayap berwarna hitam yang sekarang muncul dari punggungnya, membuat suara robekan di langit dan kemeja hitamnya. Bulu-bulu hitam kini berterbangan di langit, terlihat sangat magis diterpa bulan. Sosok di hadapan mereka bukanlah seorang iblis.

KAMU SEDANG MEMBACA
INFERNO: The Lost Prince
Viễn tưởng[END; DILENGKAPI DENGAN ILUSTRASI DI BEBERAPA CHAPTER] "...Mustahil. Pangeran itu, sudah tewas ratusan tahun yang lalu!" Tidak ada yang menyangka bahwa karya wisata itu akan membawa malapetaka. Belle Vierheller, seorang murid SMA yang bisa dikataka...