Chapter 82: Solomon si Penyihir

62 9 0
                                    

BRAK!!!

Dua malaikat agung itu bangun dari posisi berlutut mereka, debu-debu berterbangan begitu mereka berdua terjun dari langit. Raphael masih mengenakan scrub dokternya, sementara Uriel masih bergaya dengan... entahlah, fashion taste malaikat yang satu itu sangat rumit. Meski tidak pernah turun ke dunia manusia, gayanya sangat modis. Bayangkan bagaimana absurd-nya pakaian para model fashion show? Nah, satu rasa dengan Uriri.

"Ini rumahnya?" Tanya malaikat yang lebih muda, sayapnya kini sudah tidak terlihat.

"Uhuk, uhuk!" Batukan Raphael terdengar keras, membuatnya menoleh. Kakek-kakek.

"Huh. Lemah," komentar Uriel cuek, ia berjalan ke depan gerbang pendek berwarna hitam.

"Maaf, kakakmu yang usianya hampir satu triliun ini mulai mengalami penuaan. Eh apa berapa ya, aku gak ingat. Gabriel hampir 5 miliar, selisih sama Camael hampir ratusan miliar, harusnya sama aku sangat sangat jauh," balas Raphael, menepuk-nepuk pinggangnya yang jompo. Ia mendekat ke belakang adiknya kemudian mengangguk.

Sebuah rumah modern yang sederhana, tidak kecil namun juga tidak luas. Dari luar dapat terlihat pekarangan kecil rumah yang dipenuhi oleh pot-pot tanaman.

"Jika aku ingat dengan betul, alamat yang dikirimkan memang di sini. Jakarta..." gumamnya, meletakkan jemari di dagu (pose andalan Raphy). Uriel menunjukkan ekspreksi tidak percaya.

"Jika aku ingat, katamu? Kakak, bahkan aku tidak tau kalau malaikat bisa lupa akan sesuatu. Memangnya beda dengan tempat kerja kakak tadi?" Hela Uriel, mulai pasrah dengan lelucon garing kakaknya itu.

"Beda, dong. Rumah sakit tempat aku kerja itu di Tangerang. Belok dikit Jakarta sih," jawab Raphael enteng, celingak-celinguk ke balik pagar.

"Beda tempat? Kukira sama. Perjalanan tadi hanya memakan waktu kurang dari satu detik."

Malaikat bergerak dengan kecepatan cahaya, jadi ya... Jophiel dan Gabriel saja turun dari Celestial ke Jinnestan (waktu perang itu) dalam hitungan jari. Bagi mereka, perpindahan jarak tidak terlalu berarti. Raphael tersenyum kecil sebelum kembali ke rumah di depannya dan berseru:

"Assalamualaikum! Pak haji!"

Lagi-lagi, Uriel menepuk jidatnya. Kalau ia bisa, ia akan berdoa pada Penciptanya untuk mengalihtugaskan dirinya. Si Raphael budut itu, tau darimana Solomon pernah pergi haji? Akan tetapi, Uriel menjawab salamnya dalam hati (soalnya wajib dijawab, kan...)

"Tau darimana agama Solomon? Astaga, kakak," komentar Uriel lelah, energi bersosialisasinya sudah habis dikuras Raphael.

"Sebagai malaikat, kita harus mendukung semua agama yang ada. Ya, kan? Aku akan panggil lagi, mungkin orangnya masih tidur. ASSALAMUALAIKUM, PAK HAJI!"

KLANG KLANG KLANG

Kali ini Raphael kembali memanggilnya, namun sambil menggerakkan pagar dengan heboh. Engsel di ujungnya kini terlihat miring, sebentar lagi ambruk.

"Kalau dipanggil sekali lagi tidak nyaut, kita terpaksa harus pergi dulu, kak. Jangan dipaksakan, mengganggu tuan rumah bukanlah hal yang baik. Kita bisa berdoa agar Solomon bangun dari tidurnya," tukas Uriel dengan halus, memperlihatkan sedikit sifat malaikatnya. Raphael mengangguk serius.

"Benar, kalau begitu sekali lagi. PAK HA—"

BRAK!!!

INFERNO: The Lost PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang