99

45.9K 4.2K 583
                                    

Setelah drama panjang, Oca merasa kelelahan, dirinya kembali merasa pusing dan kepala terasa berat. Umah langsung sigap memberi obat yang sudah di resepkan oleh dokter Dian.

Oca memaksa kepada Umah, agar dia bisa pulang ke Jakarta.

"Istirahat dulu nggeh" Umah meletakan gelas berisi air minum di nakas samping tempat tidur. Tangan keriputnya mengelus lembut sesekali melakukan pijatan ringan di kepala Oca.

"Umah jangan pulang" Seru Oca dengan nanar. "Maaf, Oca ngerepotin umah"

"Huss, sopo sing bilang ngerepoti ?. Nduk itu sudah jadi anak umah, ndak ada ngerepotin Umah"

"Umah yang seharusnya minta maaf, kalau kelakuan anak umah membuat Nak Oca ndak nyaman"

Oca hanya menatap sendu, tidak menyahuti ucapan mertuanya. Dia memilih memejamkan matanya yang terasa berat efek dari obat yang dia minum.

"Dek Oca tidur umah ?" Fahri kembali ke dalam kamar, setelah melihat istrinya yang tertidur di sebelah umah. Umah menoleh dan mengangguk.

Beliau perlahan bangkit dari tempat tidur Oca, berjalan dengan membawa gelas bekas minum menantunya.

"Assalamualaikum.." Suara Abah Umar mengucapkan salam terdengar sampai lantai atas.

Abah Umar masuk setelah di antar oleh Bagas. Abah menyusul umah ke rumah Fahri setelah mendapat telfon dari Umah Sifa tentang Oca dan Fahri. Hingga tepat selesai shalat magrib, Abah mendatangi rumah Fahri.

"Waalaikumsalam.." Umah melewati Fahri yang masih mematung,. "Abah di bawah" Lanjut umah memberitahu Fahri.

Fahri mengangguk dan berjalan di belakang Umah. Netranya menangkap sang ayah sudah duduk di atas sofa depan tv.

"Bah.." Fahri menyalami tangan abahnya dan duduk di sebelah Abah umar.

"Nak Oca dimana?" Abah Umar bertanya.

"Wis turu, kelelahan. Umah sudah kasih obat, perut nya kram terus katanya" Jelas umah. Abah yang mendengar mengangguk paham lalu melirik Fahri yang ada di sebelahnya.

"Kenapa ?" Beliau bertanya kalem seraya menepuk paha Fahri yang terlapisi celana kain hitam. Fahri hanya menunduk tidak enak.

Sementara Umah sedang berada di dapur memanaskan gulai yang tadi beliau bawa untuk Oca. Biarlah abahnya yang menasehati anak sulungnya.

"Belajar mengendalikan hawa nafsu mas, mas sudah dewasa, belajar kendalikan hawa nafsu--" Abah menghela nafas.

"Cemburu boleh, bahkan Allah menyuruh seorang suami untuk cemburu kepada istrinya, cemburu itu fitrah manusia mas, Cemburu dapat menjaga dan melindungi harga diri dan keluarga dari tindakan melanggar syariat. Namun jangan berlebihan mas.." Ucap Abah melirik Fahri yang terus menunduk.

"Belajar nggeh mas, agar menahan diri dari rasa cemburu berlebihan, sehingga perasaan cemburu tersebut ndak mendorongnya melakukan pelanggaran syari’at, atau berbuat zhalim," Abah berkata dengan kalem dan penuh senyum.

"Abah ngerti, mas wedi neng bojone nglrik wong lanang liyane" kekeh Abah Umar kembali menepuk paha Fahri.

"Tapi abah yakin, nak Oca tidak seperti yang mas takutkan nggeh ?" Fahri menunduk lalu menoleh kepada Abah Umar.

"Saya cemburu buta bah, saya ndak bisa mengendalikan emosi saya melihat dek Oca berdekatan dengan laki-laki lain"

Abah tertawa pelan "Di kendalikan nggeh, bentar lagi momong anak, moso nanti cemburu sama anaknya" Canda Abah Umar,

"Berdo'a kepada Allah kalau rasa cemburu berlebihan itu menguasi pikiran mas. Mas juga harus belajar memberi kepercayaan kepada istri mas, jangan sampai rasa cemburu itu menghancurkan rumah tangga mas sendiri, kasih nak Oca kepercayaan, landasan sebuah hubungan itu adalah kepercayaan, saling terbuka" Abah terus menceramahi Fahri terus menerus.

With You GUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang