Persiapan Dimulai

711 66 10
                                    

Hari sudah larut namun Ruanth masih setia di ruangannya, ia masih berasa di kantornya, ia bahkan mengabaikan panggilan dan pesan yang dikirimkan Natalie. Ruanth nampak memejamkan matanya dan menghela nafas panjang, beban yang kian hari semakin menggunung, baru saja ia menemukan sebuah kejanggalan, semua proyek yang seharusnya bisa dituntaskan dengan baik disabotase sehingga menimbulkan banyak kerugian komplain dari klien terdengar telinga Ruanth. Yang Ruanth tahu ada unsur kesengajaan lagi - lagi mengarah pada direksi yang menginginkan Ruanth lengser sejak awal.

Pembuktian yang Ruanth lakukan sia - sia karena beberapa karyawan mulai meragukan Ruanth. Sebagai direktur utama dengan hanya modal sebagai menantu keluarga Wijaya selalu tersemat padanya. Apalagi ditambah dengan kabar ia sudah menikah kembali membuat orang - orang mulai mencari cela kesalahan Ruanth.

Beberapa kali Ruanth mengajukan pengunduran dirinya, namun Arlan tidak pernah menyetujuinya. Entah apa maksud mantan mertuanya itu pada dirinya, Ruanth tahu diri sudah seharusnya ia tidak terlibat dengan keluarga Wijaya lagi karena ia sudah bukan bagian dari keluarga itu setelah menikah dengan Natalie.

Soal Natalie, ia mengakui ada yang tidak beres dengan hatinya, satu sisi ia seharusnya bisa bahagia dengan Natalie yang sudah bersamanya sekarang namun di sisi lainnya ia merasakan kehampaan, kehilangan Shasha ternyata baru benar - benar ia rasakan sekarang.

Sebutlah Ruanth egois, namun kenyataannya ia baru benar - benar merasakan kehilangan Shasha beberapa waktu terakhir ini ditambah dengan kembali ke kediaman dirinya dan Shasha dulu semakin menambah rasa tidak karuan di Ruanth.

Seharusnya, ia bisa mengendalikan diri, namun kedagingannya mendominasi, terkadang ia merindukan kehadiran Shasha istri pertamanya itu. Empat tahun bersama dengan dua tahun berjuang untuk kesembuhan Shasha. Masih lekat di ingatannya senyum terakhir Shasha. Dan perasaan bersalah itu selalu menghantui Ruanth hingga kini.

Ruanth mengambil benda dari dalam laci, sebuah botol yang berisi tablet obat. Ruanth menenggak beberapa butir. Obat penenang yang ia konsumsi lebih dari enam bulan itu, setidaknya membantunya lebih tenang. ia berjalan perlahan dan merebahkan diri di sofa melupakan sejenak beban yang ia rasakan sekarang.

Natalie menatap jam dinding waktu sudah menujuk pukul satu dini hari, artinya Ruanth tidak pulang hari ini. Dan lagi ia melalui malam ini dengan tangisan, entah harus seberapa banyak sabar lagi yang harus ia tampung. Cita - citanya menikah dengan Ruanth dan hidup bahagia namun itu ternyata hanya angan, realitanya menikah dengan Ruanth banyak sakitnya, tapi sesuai dengan janji di altar pernikahannya, Natalie harus terima keadaan ini.

Untung saja calon anaknya kali ini pengertian sekali pada bundanya jika tidak, ia harus merepotkan Windu karena menginginkan sesuatu. Ruisha turun dari tangga, ia terbangun dan mendengar suara tangisan yang sudah pasti adalah bundanya.

"Nda" suara serak Ruisha menghentikan tangis Natalie dengan segera menghapus jejak air matanya namun jari mungil itu lebih dulu melakukannya.

Ruisha perlahan mengusap wajah Natalie lalu tersenyum manis yang membuat Natalie semakin berurai air mata.

"Maafin Ayah Rui ya Nda"

Ruisha merapatkan jarak memeluk Natalie, keduanya menangis sekarang. Tangan Natalie sigap mengusap punggung gadis kecil itu.

"Nda, Ayah gak jahat, Nda percaya Rui kan?" Ruisha seakan meyakinkan bundanya padahal ia sendiri saja takut, takut bahwa kenyataannya Ayahnya berubah.

"Nda, Ayah Rui bukan monster"

"Iya sayang, Nda percaya Ayah orang yang baik dan Ayah bukan monster" ucap Natalie menenangkan Ruisha

"Kakak Rui, kebangun gara - gara bunda menangis? Maaf ya" pertanyaan Natalie dibuahi gelengan kepala Ruisha

Never GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang