117- Lamaran Jeno dan Hendery (2)

2.3K 296 11
                                    

2023

Kediaman Nakamoto

Sepulangnya Johnny dan Jaehyun dari kediamannya, Yuta terbengong di samping jendela ruang kerjanya. Winwin berjalan mendekati sang suami, tapi sampai ia duduk di samping Yuta, suaminya tak menoleh sedikitpun padanya.

"Hyung, kau baik-baik saja?" Tanya Winwin, Yuta yang mendengar suara pasangannya tersadar dan baru menoleh ke arah Winwin.

"Ah, Winnie, aku baik-baik saja." Jawab Yuta, namun penuh keraguan, Winwin menghela nafas dan meraih jemari sang suami.

"Hyung, apa hyung memikirkan pembicaraan dengan Johnny hyung dan Jaehyun?" Tanya Winwin, tak ada jawaban beberapa saat, dan tidak lama anggukan kepala Yuta didapat oleh Winwin.

"Mau cerita?" Tanya Winwin.

"Aku belum siap melepas mereka untuk hidup bersama orang lain. Mereka berdua bayiku yang paling berharga, aku tau Hendery dan Jeno bukan anak yang buruk, mereka anak baik yang sangat bertanggungjawab, tapi aku belum rela jika kedua bayiku dibawa oleh pria lain, meski aku sendiri sudah mengenalnya dengan baik." Winwin diam mendengarkan penuturan sang suami, ia yakin suaminya masih ingin mengatakan beberapa hal lagi.

"Aku masih belum ingin jauh dengan Dejun ataupun Nana. Tentu mereka masih ada di satu kota yang sama, namun di rumah yang berbeda, tapi rasanya akan aneh, saat aku terbiasa mendengarkan suara mereka setiap pagi tiba-tiba tak bisa mendengarkannya lagi." Winwin mengeratkan genggamannya pada sang suami.

"Bukannya aku tidak cukup denganmu, tapi rasanya- rasanya ada yang hilang dariku..." Sosok sekuat Yuta akhirnya menunjukkan sisi lemahnya di depan pasangan hidupnya.

"Aku takut, mereka tak membutuhkanku lagi, aku takut mereka melupakanku dan tak akan datang lagi padaku. Aku tidak siap, Winwin-ah, aku tidak siap mereka pergi dari sisiku." Winwin meraih sosok tersebut ke dalam pelukannya, dia usap punggung yang biasanya nampak kokoh, kini terlihat sangat rapuh.

"Hyung, mereka sudah besar ya?" Tanya Winwin, Yuta mengangguk dalam pelukan sang istri, dia menyandarkan kepala pada bahu pasangan hidupnya.

"Dulu mereka sangat kecil, bahkan Jaemin terlahir sebelum waktunya, tubuhnya sangat kecil, sampai aku sendiri takut untuk menggendongnya." Yuta tersenyum jika mengingat masa lalu, masa dimana kedua anaknya terlahir ke dunia.

"Dejun tumbuh menjadi kakak yang kuat dan penuh pengertian, sedangkan Jaemin tumbuh menjadi sosok yang penuh kasih sayang dan ceria, melupakan fakta jika dia terlahir dengan keadaan yang berbeda. Mereka saling melengkapi." Cerita Yuta, Winwin diam mendengarkan.

"Dejun selalu pulang sekolah dengan riang, dia selalu tidak sabar untuk bercerita akan kegiatannya pada sang adik, dia menceritakan bagaimana dunia di luar sana melalui prespektifnya sendiri. Menyenangkan mendengar suaranya yang penuh semangat menceritakan harinya pada Jaemin yang selalu setia menunggunya." Yuta tersenyum, begitupula dengan Winwin.

"Kesalahanku adalah mengizinkan Jaemin pergi sekolah dan nyaris menjadi korban pemerkosaan. Aku masih tidak bisa melupakan itu. Aku masih ingat bagaimana tubuh kecilnya bergetar ketakutan dalam gendonganku." Yuta memejamkan matanya.

"Dia sekarang sudah bisa melindungi dirinya sendiri, bukan begitu?" Tanya Winwin, Yuta mengangguk kecil.

"Mereka tumbuh terlalu cepat, dan mereka mendapatkan pasangan juga terlalu cepat." Winwin mengerjap perlahan, dia menyerap perkataan sang suami sebelum sebuah senyum terukir.

"Hyung, mereka dapat pasangan terlalu cepat, tapi jika ada apa-apa bukankah mereka selalu lari pada hyung dan meminta tolong?" Yuta diam.

"Mereka bukan anak kurang ajar yang setelah dapat pasangan akan membuang orang tuanya, hyung harus lihat wajah Hendery dan Jeno saat keduanya mendengar perkataan dari kedua anak kita jika mereka berdua ada di peringkat sekian, tetap nomor satunya adalah keluarga. Mereka tetap bayi kecil kita meski sudah sebesar ini, mereka tetap masih butuh kita." Winwin berujar tenang sembari mengusap punggung Yuta.

"Tidak ada yang bisa menggantikan posisi kita di hati mereka. Kau tetap pria nomor satu bagi mereka, bahkan untukku juga." Winwin melonggarkan pelukannya dan menatap Yuta yang kini juga menatapnya.

"Ada saat anak-anak akan pergi dari kita, entah untuk belajar, kerja, menikah, atau kematian. Kita sebagai orang tua harus bisa merelakan seberapa sulitnya itu, kita hanya bisa mendoakan, atau saat mereka hilang arah, kita harus membimbing mereka," Yuta menatap Winwin, "Tapi hyung, sejauh apapun anak kita pergi, mereka tetap akan pulang pada kita, jadi selain mendoakan dan mendukung mereka, kita juga harus menjaga rumah kita, karena mereka tetap akan kembali pada kita, entah saat mereka masih bernafas atau tidak, mereka tetap akan kembali pada kita." Winwin mengusap pipi yang sudah basah air mata.

"Hyung, kita bicarakan ini dengan anak-anak ya? Kita dengarkan pendapat mereka, ne?" Yuta mengangguk dan menghapus air matanya.

"Lagipula pasti salah satu dari mereka pasti ngotot untuk tinggal di sini daripada rumah mertuanya." Keduanya terkekeh, karena jelas mereka tahu siapa yang akan ngotot. Si bungsu.

"Kita bicarakan ini besok, mengingat besok hari Minggu." Yuta sekali lagi mengangguk. Dia menatap pasangan hidupnya dengan senyuman paling lembut nan hangat yang dimilikinya.

"Terimakasih, Winwin."

"Mm, sama-sama hyung, karena bukan hanya kau saja yang pasti akan merasa kehilangan, aku pun merasakannya. Kita harus kuat sama-sama."

Yuta tersenyum, dia meraih wajah Winwin dan menciumnya lembut, ciuman tanpa nafsu, ciuman yang menunjukkan betapa Yuta menyayangi dan mencintai pasangannya tersebut.

"Aku mencintaimu, Winwin."

"Aku lebih mencintaimu hyung, terimakasih telah menerimaku yang banyak kekurangan dan terimakasih karena telah menjadi kepala keluargaku dan anak-anak."

_OUR BOY 117_

[BL] OUR BOYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang